NAH, kalau sudah sampai Belitung, sempatkanlah mampir ke Desa Gantong di Belitung Timur, sekitar 100 kilometer dari Tanjung Pandan di Belitung Barat. Di desa itulah Andrea Hirata, penulis Laskar Pelangi, melewati masa kecilnya. Di desa itu, seperti 11 desa lainnya yang tersebar di lima kecamatan di Belitung, tradisi berake dan begalor masih mengakar kuat. Berake adalah semangat gotong royong tanpa memandang latar belakang termasuk agama. Contohnya bisa dilihat pada saat musim hajatan seperti khitanan atau pernikahan. Ketika itu, dapat dipastikan semua tetangga akan bergotong royong menyumbang apa yang mereka mampu sumbangkan kepada ”sahibul hajat”, termasuk sumbangan tenaga.
Adapun begalor yang hampir sama dengan ungkapan Jawa mangan ora mangan kumpul (makan tidak makan yang penting berkumpul), adalah tradisi pemersatu semua kelompok etnis yang ada di pulau permai tersebut. Umumnya mereka berkumpul di warung-warung, dan sembari menyeruput kopi, mereka membincangkan banyak hal, dari yang remeh temeh hingga hal-hal penting menyangkut hajat hidup mereka. Bahkan, mereka juga membincangkan keresahan mereka tak bisa menyaksikan film Laskar Pelangi karena tak satu pun gedung bioskop ada di Belitung.
Walhasil, kalau kita menyaksikan panorama dari udara, begitu banyak sisa tambang timah yang sudah tidak diproduksi dibiarkan terbengkalai. Padahal keasaman tanahnya akan kembali normal seperti sediakala setelah sepuluh tahun lamanya. Cekung-cekung tanah dan timbunan sisa penambangan itulah yang saban hari terus terjadi. Wajar saja banyak orang memrediksi, jika penambangan timah yang juga menghasilkan kemakmuran bagi penambangnya itu tidak akan berlangsung lama.
Kalau sudah begitu, hasil bumi di pulau itu bakal tinggal cerita belaka. Ironisnya, cerita itu bakal sangat memilukan. Apalagi penambangan timah yang sekarang masih dilakukan di sana oleh sembarang orang yang punya izin dari instansi terkait itu sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda. Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika hasil galian seperti timah, bijih besi, tanah liat, pasir bangunan, gelas, serta kaolin yang diekspor baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri, terus dieksploitasi tanpa manajemen yang bijak.
UNTUNG saja pulau tersebut masih menghasilkan rempah-rempah seperti lada berkualitas ekspor dan perkebunan sawit yang hasil produksinya juga diekspor berupa minyak sawit mentah (CPO), dan pantai yang superindah. Dengan pengaturan yang terperi, pulau seluas 4.547 km berpenduduk 204.776 (2000) dan dapat dikelilingi hanya selama 12 jam, akan menjadi sebuah destinasi pariwisata yang mumpuni. Apalagi masih ada sesuatu yang bisa dijual seperti masih banyaknya bangunan berarsitek khas Melayu seperti yang ditemukan di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatera dan Malaka.
Belum lagi, puluhan rumah bergaya serupa di Gantong pada kompleks PN Timah yang masih menyisakan kegagahan dan kemegahannya. Atau sebagaimana daerah lain yang mahir menjual upacara atau perayaan daerahnya, Belitung juga mempunyai agenda serupa seperti Perang Ketupat, Buang Jong, Mandi Belimau, Ruwah, Kongian, Imlek, Sembahyang Rebut, Sembahyang Kubur, Kawin Masal, Nganggung, Maulidan, Muharoman, Selikur, Cukur, dan Lebaran Puasa.
Begitu juga khazanah kuliner Belitung yang kaya. Ada mi Belitung yang tidak kalah enaknya dengan mi Bangka yang jadi ”seterunya”. Atau getas dan keretek yang berbahan dasar ikan dan terigu yang dibuat dengan berbagai bentuk yang rasanya hampir sama dengan kerupuk. Ada juga rusip, makanan berbahan dasar ikan bilis yang dicuci bersih dan diiris secara steril, kemudian dicampur dengan garam dengan komposisi seimbang.