JAKARTA -- Apa kabar Bengkel Teater Rendra (BTR) sepeninggal pendirinya, WS Rendra? Apakah grup teater yang didirikan sejak 1968 di Yogyakarta, sepulangnya Willibrordus Surendra Broto Rendra dari Amerika Serikat itu, ikut usai dengan rampungnya riwayat sang pendiri?
USAI sudah riwayat Bengkel Teater Rendra. Begitulah pesimisme sebagian murid yang pernah bergabung dengan bengkel milik Rendra itu. Namun bagi sebagian yang lain, keinginan untuk terus menghidupkan bengkel, sepeninggal Rendra adalah sebuah keniscayaan. Masih membara.
Meski belum ada pernyataan dari institusi BTR yang untuk sementara ini dipusatkan pada nama Ken Zuraida, istri ketiga mendiang Rendra, tapi suara ramai mulai banyak bergunjing tentang riwayat BTR ke depannya.
Suatu saat nanti, mbak Ida, demikian Ken Zuraida biasa disapa, akan menjelaskan langkah-langkah apa yang akan dilakukan untuk menyelamatkan bengkel itu sepeninggal suaminya.
Bersama dua pendirinya, kata Mbak Ida, paling lambat dalam dua Minggu ke depan, semua aktivitas bengkel yang rencananya dilaraskan dengan cita-cita dan perjuangan Rendra, akan dijelaskan kepada publik. ”Jadi, untuk sementara saya tidak bisa bicara dulu ya, takut melanggar komitmen bersama,” katanya kepada penulis awal Agustus 2009.
Ida begitu hati-hati dalam melangkah. Karena sebagaimana dikatakan Sitok Srengenge, salah satu murid Rendra yang bergabung bersama BTR sejak 1985, terlalu banyak murid Rendra yang tersebar di berbagai kota, dan mempunyai suara beragam tentang keberadaan bengke itu ke depan. Dalam bahasanya, harta Rendra memang harus jatuh ke tangan anak dan istrinya, tapi ilmunya yang ditularkan lewat bengkel itu juga milik semua murid dan anggota BTR.
Otig Pakis, murid Rendra lainnya yang bergabung ke BTR sejak 1983 saat Rendra masih bermarkas di Tomang, Jakarta Barat, menyebut jika kini bengkel itu tanpa Rendra bukan BTR lagi. ”Sesuai namanya, Bengkel Teater Rendra. Kalau Rendra sudah tidak ada, berarti Bengkel Teater juga sudah nggak ada,” katanya.
Namun, kata aktor yang telah bermain di banyak judul film itu, kalau pun BTR diadakan dan dihidupkan lagi, kualitasnya pasti tidak sama.
Nah, terlepas dengan permasalah apakah BTR akan dihidupkan lagi, untuk kemudian diolah keberadaannya, atau dibiarkan mati, menarik untuk menyimak kesaksian Sitok Srengenge dan Otig Pakis.
Kaum Urakan
Dua murid dan anggota BTR itu memang tidak tahu persis riwayat Bengkel Teater ketika masih bermarkas di Yogyakarta. Ketika embel-embel nama Rendra belum melekat di balik nama bengkel itu, dan kemudian menjadi ikon dalam dunia teater terbesar di Tanah Air. Tapi persinggungan yang intens dua orang itu selama menimba ilmu di BTR dan Rendra sebagai personal, adalah sebuah fakta lain yang juga menarik.