Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mashurie

13 Oktober 2016   14:29 Diperbarui: 13 Oktober 2016   14:45 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1965

KALA peristiwa berdarah penumpasan PKI meledak, Tulungagung adalah salah kota kabupaten di Jatim yang paling seru hiruk-pikuknya. Demikian dikisahkan bapak pada sebuah masa. Saat itu, kenang bapak, anak-anak sekalipun turut menenteng gaman bernama apa saja, untuk kemudian mencincang siapa saja yang dituding atau sekedar ditengarai anggota PKI.

Sedangkan para ulama, dengan gagahnya menyerukan ganjaran berlipat ganda bagi siapa saja yang bisa menumpas sejumlah orang anggota PKI, maka bayarannya, "Sama halnya pergi ke Tanah Suci," ujar bapakku.

Bapak waktu itu adalah kandidat doktorandus dari sebuah universitas ternama di Jateng. Yang terpaksa tertunda wisudanya lantaran G 30 S meletus di Jakarta. Bukan karena skripsi bapak yang membidik tema Nasakom yang menjadi kendala. Tapi, semua proses belajar mengajar memang dipaksa berhenti untuk sementara, demi membersihkan siapa saja, dan apa saja dari pengaruh PKI.

Meski akhirnya bapak memang mengganti skripsinya, tapi bukan kisah skripsi dan kelulusan pada akhirnya, yang akan aku kisahkan. Juga bukan cerita bagaimana bapak dulu menyembunyikan, sekaligus menyelamatkan beberapa kawan kuliahnya yang dituding PKI, dan oleh karenanya, pada saat itu, pantas dihukum mati, dengan cara yang paling nista.

Juga bukan bagaimana bapak dulu, di Tulungagung menyaksikan anak-anak dan remaja tanggung laki-laki dengan bangga mencantolkan sejumlah daun telinga yang telah terpotong dari tempatnya, di leher mereka, dengan seutas tali. Atau bagaimana menohok bau anyir dan merahnya warna kali Brantas, yang tidak seberapa jauh letaknya dari rumah eyang putri dari pihak ibu, karena terlalu sesak oleh mayat-mayat orang-orang yang dianggap PKI.

Bukan itu semua yang akan aku tuliskan. Melainkan bagaimana bapak bisa emoh turut membantai orang-orang PKI, meski bapak juga tahu bagaimana PKI dulu menyudutkan umat Islam. Bahkan dengan garang, di banyak tempat di Jatim dan di Jateng, orang-orang PKI bisa dengan riang mengambil alih tanah milik para tuan tanah, dengan cara tak kalah berdarah-darahnya. Lewat cara mengadu amarah, menumpahkan darah.

Meski sebagai putra kyai sekaligus saudagar ternama dari Padangan, sebuah kecamatan dari kabupaten Bojonegoro, bapak dibesarkan dalam naungan kaum Nahdliyin totok. Demikian halnya ketika kedua orang tuanya, eyang kakung dan eyang putri kami mengirim bapak belajar mengaji ke Krapyak, Yogyakarta ketika masih belia. Sebelum akhirnya melemparkannya ke Surabaya hingga SMA, dan akhirnya kuliah di Semarang, tetap tidak menjadikan bapak berpikiran ekseklusif.

Oleh karenanya, ketika banyak nyawa orang-orang PKI melayang, juga orang-orang dituduh PKI meregang, bapak tidak turut peran serta. Meski tentu saja, dengan sangat menyesal, bapak tidak juga dapat mencegahnya. Meski bapak, sekali lagi, juga sangat tahu ketika berada di Jakarta, poster-poster, spanduk-spanduk, grafiti-grafiti, selebaran-selebaran dari orang PKI nada bunyinya menggidikkan bulu roma, dengan pilihan bahasa yang sangat menista. Mengintimidasi siapa saja, tanpa pandang bulu, dengan kalkulasi politik seolah tiada tandingannya.

Bapak adalah bapak yang mampu malihrupa menjadi malaikat, dan dengan sendirinya mampu tidak tidur selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, demi mengawasi perkembangan semua anak-anaknya. Tidak itu saja, bahkan ketika subuh belum menjelang, dan adzanya masih jauh dikumandangkan, berjilid-jilid sedekah telah bapak siapkan, bagi siapa saja yang paling pagi menegakkan nafkah.

Jadi, jangan heran jika bapakku berkawan dengan sangat baik sekali dengan tukang sampah, satpam penjaga kampung, tukang gosek atau pemulung, loper koran, atau siapapun saja yang dengan tekun mengibarkan layar nafkahnya masing-masing. Kerendahan hati adalah ilmu bapak yang diajarkan kepada anak-anaknya sejak kami kanak-kanak.

Sedangkan fakultas kehidupan, sebagaimana dikatakan bapak, hanya dapat dibaca oleh orang-orang yang cukup mempunyai kedalaman. Karena, ilmu urip, demikian bapak biasa mengatakan kepada kami, hanya akan memberikan berkahnya, kepada orang-orang yang gemar memelihara kehidupan itu sendiri. Dengan ilmu terus memberi itulah, hidup, dengan sendirinya akan terus juga memberi, kepada orang-orang yang gemar berbagi rejeki. Layaknya para nabi.

Meski kerap kali, imbuh bapak, kehidupan paling gemar berbicara dengan manusia via bahasa tanda. Oleh karenannya, hidup "Hanya mampu dibaca oleh orang-orang yang biasa terlatih dengan penderitaan, dan kuat dalam masa keprihatinan". Untuk soal yang satu ini, bukan perkara gampang. Pada awalnya, ketika kesusahan, yang kerap kali datang bersama kawan baiknya bernama penderitaan menyapa, aku kerapkali dibuat lintang pukang dibuatnya.

Tapi, seiring berjalannya waktu, ketika kesusahan jelma, masa keprihatinan tiba, aku sudah terbiasa. Maka, ketika semua perkara itu datang, malah sebisa mungkin, aku tertawa-tawa akhirnya. Apakah orang-orang PKI yang tumpas pada tahun 65-66 itu tertawa-tawa juga ketika maut dipaksakan menyapanya? Aku tidak tahu, demikian halnya dengan bapakku. Yang pasti, banyak kawan kuliahnya waktu itu, hilang entah ke mana? Entah dihilangkan atau sengaja menghilangkan diri, tidak ada yang tahu pasti.

Hidup dengan sangat kejam memaksa orang-orang PKI, yang sepenceritaan bapakku, dulu berada di atas angin. Tiba-tiba dalam hitungan hari,  dimakan pusaran angin yang menelan mereka bersama keluarga mereka, dan keturunannya. Sebuah tragis yang memaksa kawan menjadi lawan, bapak menjadi musuh, anak menjadi seteru. Dan dendam mengembara ke mana-mana, ke setiap sudut serta mengancam kemanusiaan yang mulai dan telah kehilangan perinya.

Untung bapak tidak kehilangan peri itu. Meski pengambil kebijakan negeri ini, pada saat itu, dengan para perangkatnya telah bermain buta, dan telah lama kehilangan peri kemanusiaannya, dengan membantai sesamanya atas nama apa saja. Bapak memilih membesarkan anak-anaknya dengan cara apa saja, kecuali menjadi maling apalagi rampok. 

Sebuah ihwal yang rata-rata diajarkan para pengambil kebijakan negeri ini, dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Jadi tidak mengherankan, jika negeri ini menjadi republik maling, karena hampir semua pelakunya adalah rampok. Yang orang tuanya, notabene dulu pernah mempunyai tanda jasa, karena turut menumpas pemberontakan yang konon akibat sepak terjang PKI. Bukan yang lain.

Jadi, siapa sebenarnya yang pantas ditumpas hingga ke akar-akarnya? PKI yang laten dan keturunannya, atau maling-maling yang kebengisannya jauh lebih keji dari kelakuan dan rupa penjahat yang paling biadad sekalipun. Meski mereka kerap dan tekun melakukan ritual keagamaan yang menciutkan nyali? Ah, bapakku memang telah pulang, dan telah lama menera negeri ini akan menjadi negeri maling. Tapi paling tidak, anak-anaknya tidak menjadi salah satu dari banyak maling, yang makin hari makin menyesak dan dimaklumkan. Bahkan baru-baru ini, ada seorang petinggi lembaga negara dengan bangga memaklumkan perma'afan bagi para maling uang negara. Aduhai, alangkah indahnya. (benny benke. Agustus 2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun