JAKARTA -- ROSIHAN Anwar memang telah berpulang pada 14 April 2011 lalu. Tapi apakah pemikirannya turut wafat bersama jasadnya? Tentu tidak. Pemikirannya, juga kegelisahannya serta sumbangsihnya kepada negara yang sangat dicintainya bernama Indonesia, masih ada, dan berserak di mana-mana. Penulis pernah diuntungkan nasib bersemuka dan berbincang akrab di rumahnya yang permai di bilangan Jl. Surabaya, Menteng, Jakarta.
Kala itu, pada awal Februari 2007 dengan ramah Rosihan Anwar menjamu penulis di rumahnya yang kuno tapi masih kokoh di bibir kali kecil, yang tertutupi barisan pertokoan barang antik di jalan yang acap dikunjungi sejumlah tokoh penting dunia, sekedar untuk berbelanja.
Berikut, adalah kenangan penulis, atas tokoh wartawan pejuang, yang gemar mencatat sejarah kecil, yang bersliweran di sekitarnya itu.
SIAPAKAH tokoh pers tiga zaman yang masih tersisa dan tetap menulis pada usia yang telah menginjak 85 tahun? H Rosihan Anwar Gelar Sutan Malintanglah jawabnya. Apa komentar dia tentang kondisi pers terkini? Apa saran pendekar sakti pers Indonesia ini terhadap perkembangan media yang kian jauh dari perannya sebagai media pendidikan? Berikut perbincangan dengan almarhum di rumah sederhana, di Jalan Surabaya 13, Menteng, Jakarta, 2007 lalu.
Menurut Anda apa yang tengah terjadi dengan pers kita? Masihkah ia menjadi “ruang rapat umum”. Apakah pers masih menjadi wadah kepentingan bersama?
Pers sekarang jauh berbeda dari pers 50 tahun lalu. Dulu ia bernama pers perjuangan. Tidak banyak staf, beroplah kecil, tapi melayani kepentingan rakyat. Ia juga menjadi alat mencapai kemerdekaan dan kedaulatan. Sekarang, dengan muncul liberalisasi ekonomi yang berorientasi pada ekonomi global, memaksa kita menyesuaikan diri untuk bertahan.
Akibatnya pers tidak melayani kepentingan umum. Surat kabar makin hari makin jelek. Ia dikuasai oleh beberapa kelompok yang kaya dan berhasil saja. Tidak ada lagi koran-koran kecil dan independen yang bisa hidup.
Meskipun begitu ada juga koran-koran yang tetap bertahan dan hidup di daerah karena dapat dukungan dari masyarakat sekitar seperti Pikiran Rakyat (Bandung) Suara Merdeka (Semarang), dan Waspada (Medan).
Apakah dengan demikian pers masih bisa menampilkan diri sebagai ruang publik bagi siapa pun?
Seorang pengusaha boleh saja menerbitkan banyak media di daerah dengan koran-koran daerah. Akan tetapi ketika saya tanya, apakah semua itu bisa menjadikan medianya sebagai ruang publik? Belum tentu. Apakah koran itu untuk melayani kepentingan publik?
Pendek kata tidak ada lagi koran yang benar-benar berjuang mengurangi kemiskinan, misalnya. Tak ada koran-koran melakukan riset dan investigasi untuk menemukan rumusan bagaimana supaya kemiskinan berkurang.