Anda dikenal sebagai penulis “In Memorian” yang tangguh. Selain kekuatan memori, apa yang Anda munculkan kepada publik?
Ketangguhan muncul kerena saya menceritakannya secara pribadi, selain pada dasarnya saya suka sejarah. Yang jelas saya menulis dengan cara lain dan kebetulan banyak pengalaman. Menulis secara lugas dan menarik tentu juga menjadi kunci keberhasilan. Itu semua namanya personalize your story, ceritakan beritamu dengan cara personal atau pribadi. Kalau sudah begitu, ia tak akan jadi tulisan yang kering.
Anda juga kerap menulis “sejarah kecil’ dalam berbagai kesempatan. Apakah itu merupakan counter attack terhadap sejarah resmi?
O bukan, bukan. Tak ada itu counter attack terhadap sejarah resmi. Kebetulan saya penggemar sejarah. Jadi, saya banyak menulis sejarah berdasarkan pengalaman yang saya kemukakan secara apa adanya. Sejarah kan butuh pengamatan. Sejarawan si polan bilang ini, sejarawan B bilang ini, sementara saya bilang ini.
Saya pikir itu tetap boleh-boleh aja. Meski konsekuensinya berbeda dari sejarah resmi. Sejarah resmi sendiri kan juga dapat berubah. Sejarah itu kan pengetahuan yang selalu berkembang. O ya, saya ini anggota masyarakat sejarawan Indonesia lo.
Saya beri contoh, misalnya Peristiwa Malari, 19 Januri 1974. Saya menulis dulu apa yang saya temukan. Misalnya ada pertentangan antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Jenderal Soemitro pernah curhat kepada saya, setelah rapat dengan Pak Harto, dia pernah ngajak berkelahi duel pistol Ali Moertopo, tapi Moertopo nggak mau. Itu nggak ada dalam sejarah resmi. Tapi itu kan namanya juga sejarah. Bagaimana menguji keautentikannya? Sulit. Keduanya kan sudah meninggal. Ya kepada saya saja ngujinya. Apa betul seperti itu? Menurut saya, betul. Karena Soemitro sendiri yang cerita kepada saya. Itu namanya sejarah-sejarah kecil.
Apa obsesi Anda terkini?
Saya ingin selama mungkin menulis untuk surat kabar dan majalah. Karena apa? Terus-terang keuangan saya payah. Saya ini wartawan yang tidak berpensiun. Tak ada deposito yang berarti. Jadi obsesi saya selama tidak pikun atau sehat, ya menulis untuk mendapatkan uang supaya Ibu Rosihan tak kesusahan.
Wah, menyedihkan ya kalau saya ceritakan? Tapi memang begitulah keadaannya. Saya ceritakan semua ini bukan untuk maksud apa pun. Saya hanya ingin menulis untuk untuk bertahan hidup. Makanya kalau ada surat kabar yang masih mau memuat tulisan saya, saya akan berterima kasih. Jadi ini murni soal ekonomi. Ya, inilah saya yang mengalami pembridilan surat kabar selama dua kali pada masa Soekarno dan Soeharto.
Terus-terang saat “berjaya” saya tidak punya kesempatan membikin surat kabar atau perusahaan yang dapat memungut income atau keuntungan. Semua hancur karena percetakan disita dan sebagainya. Begitulah kelakuan pemerintah kita, elek.
Oposisi selalu diberangus. Surat kabar yang tidak mengalami pembreidelan ya bertahan hingga sekarang seperti Suara Merdeka. Saya tahu betul Suara Merdeka karena Hetami teman saya. Saya menyebut segala peristiwa yang menyangkut kehidupan saya ini sebagai tragedi pribadi. (Benny Benke)