Pers kita kian bergerak ke infotainment. Bagaimana cara mengatasi persoalan semacam ini?
Tidak bisa diatasi. Hanya bisa diterima. Itu bagian dari konsekuensi dan ciri pembaca koran sekarang. Orang ingin infotainment, ya dikasih infotainment. Tapi di samping itu sebaiknya juga diberi hal-hal serius.
Selain itu para pengelola jangan hanya mabuk mencari iklan sebanyak-banyaknya dan melupakan isi yang bermanfaat bagi masyarakat. Pers harus mengedepankan hati nurani. Dengan begitu, ia tetap dapat kembali ke rel sejarah. Rel sejarah itu apa? Rel sejarah itu adalah pers yang bisa mengakhiri kezaliman dan penindasan. Pers harus bisa membela golongan yang tertindas oleh pembangunanisme.
Lalu mengapa untuk menjadi institusi yang menjaga nilai-nilai atau mendidik, pers terkesan tertatih-tatih?
Itu karena para pimpinan surat kabar kurang berimprovisasi. Mereka bingung mesti menyajikan apa. Sebaiknya para pekerja pers jangan hanya berpikir “asal koran laku”.
Seharusnya mereka mengerti bagaimana membuat koran yang baik. Wartawan-wartawan harus dilatih dilatih menjadi pemberita yang benar. Jangan jadi wartawan yang cari enak saja. Pers kita jadi seperti ini akibat berbagai faktor yang sangat saling berkait. Semua memunyai dampak terhadap situasi pers sekarang. Menurut saya, sebagai orang yang 64 tahun bergelut di profesi ini, situasi pers sekarang tidak menggembirakan. Intinya wartawan kurang berempati kepada masyarakat. Kalaupun ada mereka tidak bisa berbuat apa-apa atau malah kena damprat redaksi.
Selama menjadi jurnalis, apakah Anda memimpikan sebuah pers yang ideal untuk sebuah negeri yang belum “mapan” seperti Indonesia?
Itu jelas. Intinya ada dua hal yang harus dilakukan untuk membuat pers ideal. Pertama, kita bikin koran sesuai dengan keinginan pembaca. Kedua, bukan berikan apa yang pembaca mau, tetapi berikan pembaca apa yang koran inginkan supaya mereka menjadi lebih tahu.
Menurut saya yang terbaik ya yang kedua itu. Cuma, sekali lagi saya tidak melihat pemilik koran yang berpikiran seperti itu. Akan tetapi media juga akan menjadi baik jika ada yang selain memberikan apa yang pembaca inginkan, ia juga memberikan yang koran inginkan. Ini akan membuat pembaca menjadi terdidik kepada hal-hal yang serius. Dengan demikian koran mendekati fitrah untuk memenuhi fungsi sosial.
Bagaimana Anda menjalani hidup sebagai jurnalis yang berhadapan dengan berbagai “badai” kepentingan?
Dulu saya berusaha objektif. Kalau sekarang, sudah tidak ada lagi yang namanya badai kepentingan. Sekarang tulisan saya susah diterima oleh koran-koran. Mereka anggap tulisan saya sudah kuno. Jadi saya sekarang sudah tidak bisa memberikan pendapat apa-apa lagi. Saya pasrah dan nrima. Padahal tulisan saya mendidik, karena berisi kandungan sejarah, budaya, dan politik. Sayang , meskipun semua tulisan saya hadirkan dengan cara enak dibaca dan menarik perhatian, tetap saja ada sebagian orang yang berpendapat tulisan saya kuno.