Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Romo Mudji Sutrisno: Pemikir yang Seniman

7 Oktober 2016   16:39 Diperbarui: 10 Oktober 2016   10:50 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romo Mudji menyimak anthem Indonesia Raya yg dibawakan musisi jalanan di Kota Para Raja, sepelemparan batu dari St Petersburg, Rusia. (2006). foto: benny benke

Kalau kepentingan saya tidak sama dengan kepentingan Anda, saya akan membuat partai politik. Yang kedua, orang mengira partai politik adalah sebuah panggung, performance ekspresi aktualisasi dari masing-masing kepentingan ego atau kelompok. Anda bisa lihat perpecahan pun ada di mana-mana. Mulai dari perkumpulan lawak, perguruan tinggi, seniman, gereja, sampai pesantren. Artinya apa? Tenggang rasa untuk menghormati perbedaan sama sekali tidak ada.

Apakah hal ini juga terjadi di dunia Barat?

Mereka masih bisa tertolong karena masih ada pendidikan politik. Pendidikan politik dengan perbedaan multikulturalismenya masuk ke Indonesia hanya sebagi snob. Kita ikut modenya, hanya mengambil bajunya, retorika, dan festivalnya, tetapi tidak intinya. Lihatlah pada tiga anak Soekarno. Rakyat biasa pun bisa menilai.

Ahli politik dari mana yang dapat menjelaskan fenomena ini? Kalau dulu Soekarno sebagai founding father menyatukan nasionalis, agamis, dan sosialis, kini anak-anaknya malah memberikan contoh bahwa di keluarga pun mereka tidak dapat menjadi satu. Perpecahan itu malah dibawa ke tingkat nasional.

Dari sini bisa dilihat, sebenarnya yang mereka perjuangkan hanya kepentingan masing-masing. Inilah mengapa kita masih butuh satu generasi lagi agar kita dapat menghargai politik perbedaan dengan value atau nilai yang menyatakan betapa setiap hidup bersama harus disertai toleransi terhadap perbedaan. Saya berharap tujuan kepentingan bersama menjadi hukum yang tertinggi, suprema lex. Yang terjadi di Indonesia, semua orang mencurangi kepentingan bersama demi kepentingan sendiri-sendiri.

Sebenarnya realitas politik yang ada di Indonesia, jika dilihat sejak zaman kolonial atau kerajaan, partai politik yang ada sekarang adalah metamorfosis sesuatu yang ada pada zaman dulu. Mereka semua feodalistik dan memperjuangkan kepentingan sendiri. Kalau dulu raja terhadap bawahan, sekarang partai politik pada perangkat atau birokrasinya. Mereka hanya ingat pada rakyat saat pemilu.

Melihat fenomena yang sangat memprihatinkan ini, apakah ada partai yang ideal untuk kondisi Indonesia sekarang?

Idealnya partai politik menjadi tempat pendidikan politik, tempat yang memungkinkan rotasi kepempimpinan senantiasa berganti, supaya kemajemukan terakomodasi. Pada model arisan yang tidak demokratis saja terjadi rotasi siapa yang dapat arisan berikutnya. Nah, kenyataannya, partai politik mereka ambil sebagai kendaraan untuk berkuasa.

Kalau perlu dengan KKN. Partai politik dengan model ini tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, tetapi pada pemberi kekuasaan. Dulu sebenarnya partai model seperti ini pernah berhasil pada waktu awal kemerdekaan, ketika Soekarno membuat PNI dengan basis massa. Hatta dan Sjahrir membuat PNI dengan basis kader. Kenapa berhasil? Karena mereka memperjuangkan kepentingan bersama. Namun begitu dibuat Golkar, terjadi refeodalisasi dan repaternalisai dari nilai kekeluargaan yang disatukan sebagai kendaraan, kursi, kekuasaan, dan kepentingan.

Apakah dari 24 partai yang ada sekarang tidak ada sama sekali yang mirip dengan PNI pada massa awal kemerdekaan itu?

Tidak ada sama sekali! Meski model itu dicoba dalam tiga partai: partainya Ryass Rasid, PIB (Partai Indonesia Baru)-nya Sjahrir, dan PNBK (Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan)-nya Eros Djarot. Tiga partai ini sebenarnya mencoba mengombinasi antara elitisme partai sosialisme model Sjahrir, kaderisasi dalam PIB, partai massanya model Bung Karno yang menyuarakan suara rakyat, yaitu PNBK. Tetapi apakah mereka akan berhasil? Sejarah yang akan membuktikan proses mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun