Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Romo Mudji Sutrisno: Pemikir yang Seniman

7 Oktober 2016   16:39 Diperbarui: 10 Oktober 2016   10:50 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini mereka membentuk partai formal dan konkret semacam partai Pak Hartono, Partai Karya Peduli Bangsa. Dua hal yang bisa dilihat di sini, dalam penyebaran ide, mereka hampir menguasai semua media massa dan televisi. Caranya meluncurkan, menimbulkan banyak pertanyaan sehingga membuat pers memburu, termasuk mengejar Tutut. Ini sebuah berita yang menarik kan?

Di balik proses ini, secara politik PDI-P masih teramat muda. Mereka pubertas terhadap kekuasaan, kursi, dan uang. Sebaliknya, partai-partai yang berafiliasi dengan Orde Baru cenderung matang dalam bergerilya politik.

Yang menarik, kajian-kajian analisis intelektual dari para ahli, termasuk dari luar negeri, mengenai proses demokratisasi di Indonesia akan luput semua.

Karena apa? Agen perubahan kan ada tiga, yaitu agency, masyarakat atau tokoh, dan sistem atau rasionalitas politik di Indonesia. Sayang semua salah urus. Kita ini cuma jadi generasi last minute, generasi kebut semalam. Itulah yang saya lihat dalam pemilu kali ini. Persiapannya serba tergesa-gesa. Semua asal jadi.

Apakah ini merupakan wujud dari kematian Orde Reformasi?

Orde Reformasi sudah terpencar-pencar dan tidak mampu. Ibaratnya, pada 1998 kekuatan mahasiswa sudah mampu merobohkan rumah. Namun mereka tidak siap mendirikan rumah (baru). Dasarnya juga tidak diubah dan orang-orang yang diharapkan dapat membangun rumah itu tidak disiapkan. Maka ketika rumah tak segera dibangun, pembangun-pembangun lama dari Orde Baru datang lagi. Buat saya Orde Reformasi mati suri.

Platform partai-partai yang ada sekarang apakah cenderung senada atau malah saling bertentangan?

Indonesia masih butuh empat sampai lima kali pemilu. Berarti butuh satu generasi. Meski demikian ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, mesti ada pendidikan politik, yaitu politik kesejahteraan. Artinya semua terlibat untuk memikirkan kesejahteraan. Dengan harapan rumah baru ini dapat kita diami dengan segala pluralitas. Jadi tidak dikaveling dengan perundangan-undangan menurut agama tertentu. Ibarat musik ya ”Simponi Indonesia” yang tidak dimonopoli oleh sebuah alat musik.

Kedua, mesti ada agenda-agenda perubahan. Kalau kemarin ada tujuh agenda reformasi, sekarang yang paling pokok berantas KKN. Karena kalau itu tidak dibereskan, rezim mana pun tidak akan mendapat kepercayaan. Sekarang diperparah oleh ketidakpercayaan antarkita yang semakin akut. Tidak ada trust rakyat kepada penguasa. Karena rakyat hanya percaya kepada dirinya sendiri, terjadilah anarkisme sekaligus bersamaan dengan krisis ekonomi serta tidak ada lapangan kerja. Rezim Mega tidak menjawab problem pengangguran yang tahun depan mencapai 40 juta! Rezim ini tidak juga menjawab soal pemberantasan KKN.

Bagaimana dengan kemunculan partai yang tidak terpuaskan oleh partai induk. Tidak suka PDI-P kemudian membuat partai bergaya marhaenisme. Tidak suka Golkar, membuat partai lain? Apakah mereka hanya berfungsi sebagai penggembos?

Pertanyaanya adalah mengapa muncul banyak partai begitu Soeharto diturunkan? Pertama, ada gejala dis-trust, karena kita paling tidak belajar mengenai perbedaan pendapat. Politik itu kan sebuah konsensus, wacana, dan dialog yang harus merelakan sebagian kepentingan untuk kepentingan bersama. Jadi, politik di Indonesia ini teramat sangat sarat kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun