Berdiam di Pojok Dunia
"Dia hanyalah seorang pria di tengah langit luas, mengandalkan senyum dan semir sepatu. Dan ketika mereka mulai tidak membalas senyumnya---itu adalah sebuah gempa bumi." (Death of a Salesman, Arhur Miller)
Merupakan suatu kedukaan yang besar jika seseorang berumur 25 tahun masih belum memiliki pekerjaan tetap dan masih melajang di dunia dengan seribu kesempatan yang dibuangnya. Itulah mindset atau rahasia umum yang disimpan oleh kebanyakan orang Indonesia hari-hari ini, terutama dalam pembicaraan akan mencapai kesuksesan dalam hidup duniawi di planet bumi ini.Â
Jika ingin jujur, penilaian masyarakat ini cukup kejam, mengintimidasi, dan menekan kehidupan banyak orang muda di Indonesia yang baru saja akan memasuki quarter life crisis dalam fase perjalanan hidupnya.Â
Padahal pada kenyataannya, umur 25 tahun bukanlah suatu titik acu dalam menilai pencapaian suatu individu, bahkan aspek kesuksesan itu cukup relatif dari satu orang dengan yang lainnya.Â
Sayangnya, sekelompok manusia yang hidup di sebuah negara bernama Indonesia berpendapat bahwa seseorang, tidak peduli dengan apa yang terjadi dalam kehidupannya, harus mampu mencapai titik keemasan pada usia tersebut dan hal ini biasanya muncul dari mulut orang-orang yang kita lihat sebagai tetua (biarlah pembaca mendeskripsikan ini sesuai kepercayaan masing-masing).
Alhasil, tidak sedikit orang-orang yang mengalami depresi berat ketika memasuki usia 25 tahun dan merasa belum meraih pencapaian apa-apa dalam kehidupan sehingga berpikir bahwa seluruh usaha, kerja keras dan keringatnya hanya berujung pada kegagalan.Â
Seakan-akan mereka dikucilkan di pojok dunia sambil melihat prestasi teman-teman seangkatannya yang telah berhasil menunjukkan prestasinya kepada dunia pada tenggat waktu yang tepat. Rasa Insecure, khawatir, dan perbandingan diri berlebihan (yang seringkali tidak setara) menjadi senjata yang paling sering ditodongkan pada diri sendiri di masa-masa sulit ini.
Tutup Kuping dan Biarkan Mereka Bicara
Namun, hukum manakah di dunia ini yang mengatakan bahwa segala harta karun kesuksesan harus dicapai di usia ini?
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya otak manusia memang mengalami puncak perkembangan di usia 25 tahun menurut penelitian para ahli. Tapi hal ini berati bahwa pernyataan itu harus paralalel dengan jumlah pencapaian yang dikejar selama masa kehidupan, karena setiap orang pasti memiliki jalan hidupnya sendiri-sendiri.Â
Semua orang memiliki cerita-cerita yang tidak dapat diceritakan di hadapan umum, setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, kemampuan ekonomi yang berbeda-beda, masalah yang berbeda, dan masih terlalu banyak faktor lainnya yang membedakan perjalanan hidup seorang dengan yang lain, sehingga target kaku terhadap pandangan usia 25 tahun secara logika mustahil untuk dicapai secara bersamaan oleh seluruh umat manusia.
Bahkan jika seseorang sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan baik di usia remajanya, mimpi yang ia inginkan terjadi atas hidupnya bisa saja berubah drastis dalam beberapa tahun ke depan karena satu dan lain hal.Â
Lihat saja kasus pandemi COVID-19 kemarin dimana ada banyak orang-orang yang kehilangan harapan untuk mencapai cita-citanya karena tiba-tiba muncul musibah yang datang di luar campur tangan mereka.
Singkatnya, realitas terkadang, dan bahkan sebagian besar waktu, tidak sesuai dengan harapan dan ekspektasi kita serta jalan hidup yang berbeda merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima dengan lapang dada. Jika ekspektasi kita sendiri sering tidak terjawab, untuk apa kita harus memenuhi ekspektasi orang lain yang sifatnya meracuni diri kita sendiri.Â
Ketika orang-orang di sekitar kita menuntut kejelasan akan fase hidup saat usia 25 tahun yang mungkin tidak sesuai dengan arti "kesuksesan" bagi mereka, yang sebaiknya kita lakukan adalah menutup kuping dan biarkan saja mereka berbicara, karena nantinya mereka akan sadar akan penilaian yang mereka berikan kepada orang lain terhadap diri mereka sendiri dan disitulah arti "kesuksesan" sebenarnya akan muncul bagi mereka.
Good Things Take Time
Bunga-bunga di taman tidak mekar secara bersamaan, matahari dan bulan tidak bersinar bersamaan, lalu mengapa kita menilai diri kita sendiri dengan kesuksesan orang lain di usia 25 tahun? Nyatanya tidak sedikit orang yang mengalami "kejayaan hidup" setelah usia 25 tahun atau bahkan mendekati pertengahan 30 tahun. Berseluncurah di dunia maya dan temukan orang-orang yang mencapai kesuksesannya setelah usia 25 tahun.Â
Orang-orang ini tidak peduli akan streotipe yang diberikan oleh dunia, mereka tidak peduli akan penilaian dunia terhadap diri mereka karena yang mereka pedulikan adalah bagaimana mereka  bisa terus mengembangkan diri mereka sendiri dan menjadi lebih baik setiap harinya sesuai dengan laju mereka masing-masing. Percayalah pada proses, karena segala sesuatu yang baik membutuhkan waktu untuk bertumbuh.
Seorang atlet bertalenta tidak akan langsung terjun ke lapangan dan menjadi bintang besar seketika ia mendapat tawaran untuk masuk klub professional. Sebuah emas tidak akan langsung bernilai mahal ketika ditambang karena ia masih perlu melalui proses pembersihan dan pemurnian.Â
Intinya, posisi seseorang saat 25 tahun tidak menentukan kesuksesannya dalam kehidupan karena yang menentukannya adalah waktu itu sendiri, takdir dari Tuhan, dan bagaimana manusia itu mengembangkan dirinya menjadi versinya yang maksimal sehingga bisa meninggalkan jejak bermakna di dunia ini sebelum ia kembali ke tempat Sang Maha Tahu.
"Ketika kamu menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta berkonspirasi untuk membantumu mencapainya. Namun terkadang itu membutuhkan waktu, karena alam semesta harus bekerja untukmu dan juga untuk dirimu sendiri." (The Alchemist, Paulo Coelho)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H