Mohon tunggu...
Benjamin Benneth Arfianto
Benjamin Benneth Arfianto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar Menteng Raya

Seorang pelajar yang ingin mengetahui rahasia dunia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menghayati Perbedaan, Menyambut Keharmonian

21 November 2024   14:43 Diperbarui: 23 November 2024   23:25 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebersamaan para santri Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy/dok. pri

Kepingan Kebenaran

Kebenaran adalah sebuah cermin di tangan Tuhan.

Ia jatuh, dan pecah menjadi kepingan-kepingan.

Setiap orang mengambil satu keping, melihatnya,

dan berpikir mereka memiliki seluruh kebenaran. 

(Different Roads, Jalaluddin Rumi)

Kepercayaan, keyakinan, dan agama. Suatu superstruktur yang terbangun atas basis manusia yang kehilangan arah dan mencari tujuan hidupnya. Tujuan yang berhilir pada perbedaan definisi akan kebenaran, namun semuanya berujung pada satu Tuhan, menciptakan alur-alur sungai yang berkelok-kelok dan menyajikan keindahan dalam berbagai spektrum variasi keberagaman.

Sayangnya, hari-hari ini terlalu banyak pihak yang ingin mengambil alih keindahan ini dan meremukkannya sehingga setiap kepingan perbedaan melontarkan dirinya jauh antara satu dengan yang lain, menajamkan diri, seolah-olah ingin melindungi dirinya terhadap kepingan lain, seolah-olah ingin menyatakan bahwa keyakinannya adalah yang paling benar dan apapun yang berbeda sudah dipastikan salah, sesat, serta tidak mampu mencapai kehidupan abadi.

Stigma-stigma inilah yang menghambat bangsa Indonesia mencapai kesatuan sejati selama lebih dari 79 tahun. Meski telah lepas dari rantai kolonialisme, sepertinya bangsa ini masih terikat dengan rantai prasangka dan diskriminasi. Akar-akar kebencian antar agama terlihat masih bertahan sampai dengan saat ini. Namun, apakah hal ini akan diteruskan begitu saja? Bagaimana generasi emas Indonesia tahun 2045 bisa tercapai kalau masalah mendasar seperti ini saja belum dapat teratasi dengan baik?
SMA Kolese Kanisius menjawab pertanyaan ini melalui kegiatan ekskursi yang baru saja dijalankannya.

Menjelajah Dayah, Kekhawatiran Semata

Pagi-pagi terdengar keriuhan, banyak mobil berdatangan jauh sebelum waktu bel sekolah, anak-anak berpakaian polo terlihat kesulitan membawa tas beratnya dan terdengar beberapa percakapan di antara para siswa mengenai tujuan perjalanan mereka. Beberapa merasa semangat dan tidak sabar untuk mendapatkan pengalaman baru, namun ada pula yang khawatir bagaimana mereka akan diperlakukan, dipandang, dan apakah mereka akan diterima.

Para siswa Kolese Kanisius ini sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke pesantren masing-masing yang tersebar di Pulau Jawa. Ketidakpastian yang akan dihadapi selama 3 hari menginap di pesantren menimbulkan prasangka-prasangka buruk akan hal apa yang dapat terjadi di sana. Apalagi para Kanisian datang sebagai minoritas dan harus berhadapan dengan populasi mayoritas yang terdiri dari ratusan orang, dengan hanya didampingi 1 atau 2 guru. 

Akan tetapi, segala pertanyaan dan prasangka ini akhirnya luluh setelah kenyataan menjemput mereka setibanya bus menurunkan para Kanisian di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Cirebon. Meski kedatangan awal ini disambut dengan tatapan membingungkan dari para santri yang saat itu sedang menjalankan pengajian, namun seiring berjalannya waktu, timbul kesadaran bahwa ada hati yang lembut di balik setiap mata yang memandang.

Para Kanisian disambut bukan sebagai orang asing, melainkan sebagai teman yang mampu berbagi cerita dan pengalaman dari perspektif keyakinan lain. Mereka bahkan memberikan banyak jamuan bagi tamu-tamu yang sebagian besar berumur 17 tahun ini setiba kedatangan mereka. Para santri yang lewat pun selalu menundukkan diri dan memberikan rasa hormat kepada setiap Kanisian yang ditemui, cukup kontradiktif dengan segala prasangka yang muncul ketika masih di Jakarta.

Satu hal yang terlihat jelas, pesantren ini sungguh mengedepankan rasa toleransi akan keberagaman agama di Indonesia. Mereka bahkan mengakui bahwa kedatangan Kolese Kanisius menjadi kesempatan untuk bisa memahami seluk beluk agama dan keyakinan lain yang mungkin belum pernah ditemui oleh para santri seumur hidup mereka sejauh ini. Seorang pengasuh ponpes mengeluarkan suatu pernyataan yang perlu disadari oleh semua masyarakat Indonesia.

"Perbedaan keyakinan di dalam bangsa Indonesia merupakan sebuah keniscayaan, sebagaimana halnya perbedaan akan selalu hadir dalam masyarakat selama manusia masih ada di atas muka bumi ini. "

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi kita semua. Jika perbedaan keyakinan dan agama sudah merupakan suatu hal yang tidak terelakkan, maka mengapa pemaksaan agama atas dasar kebenaran yang absolut masih bertahan bahkan sampai dengan masa modern ini yang katanya lebih terbuka terhadap perbedaan? Mengapakah diskriminasi dan stigmatisasi masih dibiarkan hidup di tanah beragam iman ini?

Kebersamaan para santri Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy/dok. pri
Kebersamaan para santri Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy/dok. pri


Menaikkan Literasi, Menurunkan Polarisasi

Bertahannya rasa intoleransi di bangsa ini tidaklah jauh dari persoalan minim literasi masyarakat Indonesia. Dapat dilihat bahwa dari mereka yang bersuara keras menyerukan kebencian, hampir tidak ada yang benar-benar mendalami ajaran agamanya sendiri. Seolah-olah argumennya bagaikan tong kosong yang nyaring bunyinya.

Di hari pertama ekskursi, kepala dari Ponpes Kebon Jambu menyampaikan suatu fakta dalam sebuah seminar pembuka bagi para tamu Kolese Kanisius beserta sejumlah santri terkait demo politik identitas yang terjadi beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2017. Yang beliau katakan adalah tidak jauh dari kebenarann.

"Kakak saya pernah berkata bahwa para santri yang ikut-ikutan demo di Jakarta (demo 212 untuk menuntut dugaan penistaan agama Ahok) bisa dipastikan mondok (tinggal dan studi di pesantren) untuk waktu yang sebentar saja, entah itu karena tidak betah atau alasan lainnya. Bisa saja hanya 3 tahun atau bahkan kurang. Santri-santri yang menjalani full 7 tahun di pondok ini, pasti akan tetap diam di rumah karena mereka tahu akan kebenaran manipulasi video melalui hasil literasi di dunia digital."

Kutipan singkat ini menyatakan bagaimana konflik dan demonstrasi massal berakarkan pada kebencian tidak berdasar serta membuktikan mudahnya polarisasi mempengaruhi banyak orang hanya karena kekurangan literasi. Ini hanya satu contoh dari banyak kasus kericuhan yang terjadi akibat konflik antar agama yang seringkali disebabkan oleh penghakiman salah satu pihak terhadap agama lain tanpa ada alasan yang jelas atau bahkan hanya karena disulut dan diprovokasi pihak tertentu tanpa ditanyakan latar belakang argumen ketidaksetujuannya (seringkali disertai dengan suap untuk mengambil hati massa).

Memahami perbedaan adalah awal membangun keindahan toleransi/dok. pri
Memahami perbedaan adalah awal membangun keindahan toleransi/dok. pri

Keindahan Kaca Patri 

Tiga hari menjalani kehidupan di tengah-tengah santri, sebagai seorang minoritas, menimbulkan suatu kesadaran bahwa bukan hanya perbedaan yang menjadi keniscayaan manusia, namun rasa menghormati, kasih sayang, dan kepedulian juga menjadi hakekat dan takdir dalam setiap diri manusia.

Dari setiap santri yang berinteraksi dengan para Kanisian, tidak ada seorang pun yang terlihat membenci atau bahkan marah akan kehadiran mereka. Yang ada hanya pandangan ingin tahu, rasa hormat, dan keinginan untuk berteman, tidak peduli apa agamanya, sukunya, atau keyakinanannya. Dan hal ini juga menunjukkan bahwa intoleransi sebenarnya muncul hanya karena sebagian kecil orang, yakni para oknum, tidak bisa menerima adanya perbedaan dan besarnya rasa dengki menutupi hati nurani mereka sebagai manusia. Akhirnya, oknum ini menyebarkan kebencian melalui misinformasi dan manipulasi fakta sehingga agama-agama bisa saling diadu-domba.

Sebagai generasi muda Indonesia, yang kaya akan ilmu teknologi informasi dan cara memakainya, sudah seharusnya kita memperbaiki apa yang telah meracuni bangsa ini selama bertahun-tahun. Inilah saatnya kita, generasi emas Indonesia, mengambil langkah besar dan menyuarakan persatuan. Meneriakkan ajakan perdamaian dan saling peduli kepada setiap golongan agama sampai para oknum pembenci tidak sanggup menahan kebenarannya. Sudah saatnya Indonesia bersatu sebagai satu bangsa, menyambut keberagaman sebagai suatu keindahan. Bagaikan kaca patri yang tersusun atas banyak warna dan bagian, namun semuanya menyusun suatu harmoni keindahan yang menyinari seluruh ruangan di sekitarnya.

Tapi masih ada satu pertanyaan lagi. Sanggupkan generasi muda mengemban tugas berat ini? Atau justru mereka terbawa arus polarisasi dan semakin mempertajam kepingan perbedaan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun