Mohon tunggu...
Benjamin Simatupang
Benjamin Simatupang Mohon Tunggu... Lainnya - Ayah, suami dan anak

Just keep swimming!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Umat Kristen Indonesia dan Politik

14 Februari 2024   06:37 Diperbarui: 14 Februari 2024   06:48 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi yang berpendapat "politik itu kotor", perlu membaca Gandhi.  Bagi yang beralasan "politik adalah tipu muslihat", perlu membaca Gandhi.  Dalam otobiografinya, Gandhi menulis, "...namun dengan segala kerendahan hati, saya dapat berkata bahwa mereka yang menganggap agama itu tak ada sangkut pautnya dengan politik, sebenarnya tidak mengetahui apa arti agama."

Rasanya Gandhi benar.  Rasanya setiap agama memberikan panggilan bagi umatnya untuk berperan dan bergulat dalam kehidupan politik.  Sikap seseorang terhadap politik, secara sadar atau tidak, antara lain dibentuk oleh keimanan yang dianutnya.  Tak terkecuali umat Kristen Indonesia. 

Lembaga PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dahulu DGI/Dewan Gereja-gereja di Indonesia) di tahun 1961 menelurkan sikap terhadap dinamika politik Indonesia, yang dirumuskan dengan empat kata (tetra kata), yang merupakan sumbangan pemikiran T.B. Simatupang, yaitu : positif, kritis, kreatif dan realistis.  Keempat sikap tersebut berakar pada wawasan teologi Calvinis. 

Berbeda dengan Luther, Calvin bersikap positif terhadap negara dan politik.  Dari sinilah datang sikap "positif".  Bagi Calvin, gereja dan negara merupakan dua tangan Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia yang merupakan warga negara sekaligus warga gereja, tanpa bercampur aduk satu sama lain, tetapi menganut adanya "pemisahan antara gereja dan negara", yang tugasnya berbeda namun saling mendukung satu sama lain demi kebaikan masyarakat. 

Calvin menekankan bahwa pemerintah harus taat kepada Firman Allah, sehingga gereja harus kritis menilai apakah pemerintah cukup taat kepada Firman Allah, sebagai landasan moral, etik dan spiritual.  Dari latar belakang ini lahir sikap "kritis". 

Selain itu, Calvin mengajarkan bahwa pemerintahan negara adalah karunia Allah untuk orang Kristen, sehingga pemerintah tidak harus dijauhi tetapi harus didukung secara kreatif, dengan melibatkan diri di bidang politik dengan kesadaran panggilan yang kuat.  Dari latar belakang inilah lahir sikap "kreatif". 

Sementara itu, kata "realistis" lahir dalam konteks revolusi di era Soekarno, sebagai koreksi dan peringatan terhadap bahaya dari impian-impian yang tidak beralasan dan sering muncul dalam setiap kekuasaan, seperti zaman Hitler di Jerman. 

                                                                                                                         

TB Simatupang https://www.tiktok.com/@faizal.editor_3/video/7268872781155093766?lang=enInput sumber gambar
TB Simatupang https://www.tiktok.com/@faizal.editor_3/video/7268872781155093766?lang=enInput sumber gambar

Sikap politik umat Kristen secara umum  

Pdt. Dr. Richard M. Daulay, M.Th, MA, seorang pendeta GMI (Gereja Methodist Indonesia) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), menulis buku berjudul "Agama & Politik di Indonesia -- Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Umat Islam" (terbit 2015).  Buku tersebut berasal dari disertasi Pdt. Daulay pada Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.  Disertasi ini meneliti bagaimana sikap politik umat Kristen Indonesia menghadapi perkembangan politik Indonesia. 

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/agama-dan-politik-di-indonesia
https://ebooks.gramedia.com/id/buku/agama-dan-politik-di-indonesia

Pdt. Daulay menggunakan kerangka teori yang mengacu kepada J. Philip Wogaman (The Christian Perspective on Politics, Louisville, Kentucky:WJK, 2000).  Secara umum, Wogaman berpendapat ada tujuh tingkat sikap orang Kristen berkaitan dengan politik :

(1) memengaruhi etos (etika) politik melalui berbagai suara kenabian yang dicetuskan lewat aneka media;

(2) memberikan pendidikan politik kepada warga gereja agar mereka mempunyai kesadaran politik, sesuai dengan panggilan untuk mencerahkan warga;

(3) melakukan lobi-lobi kepada pemerintah untuk memberikan masukan ketika pemerintah akan mengambil keputusan strategis yang berkaitan dengan masalah HAM;

(4) membentuk partai politik berasaskan kekristenan ;

(5) mendukung tokoh atau partai politik tertentu untuk masuk dalam pemerintahan ;

(6) melakukan sikap "perlawanan politik" (civilian disobedience) ; dan

(7) melakukan revolusi, yang bertujuan menggulingkan pemerintah yang sedang berkuasa. 

Agar analisisnya lebih tajam, juga dikaitkan dengan teori Bernie Adeney-Risakotta (dosen UKDW), yang membuat lima tipe orientasi kekristenan di Indonesia dalam hubungannya dengan politik (Christians and Politics in 21st century Indonesia, makalah UGM, 2011):

Pertama, orang Kristen yang berorientasi pada kekuasaan (Christians oriented to gaining or increasing political power).  Orang Kristen yang termasuk dalam kategori ini melihat bahwa semakin banyak orang Kristen yang memegang posisi penting dalam kekuasaan dalam berbagai level, maka nasib orang Kristen di Indonesia akan semakin baik.

Kedua, orang Kristen yang berorientasi pada penguatan kuasa rohani (Christians oriented to expanding spiritual power).  Bagi kelompok ini, Kerajaan Allah tidak diperoleh melalui kekuasaan politik, tetapi melalui pertobatan, kelahiran baru dan keputusan iman mengikut Yesus.

Ketiga, orang Kristen yang berorientasi pada rasa aman dan status quo (Christians oriented to protecting status quo).  Kelompok ini adalah orang-orang yang mengutamakan rasa aman tanpa mempersoalkan siapa penguasanya.  Yang penting adalah kebebasan dan rasa aman beribadah. 

Keempat, orang Kristen yang berorientasi pada penguasaan otonomi daerah (Christians oriented to enhancing regional autonomy).  Pada umumnya ada di kalangan orang Kristen dan gereja yang lahir di daerah dan suku tertentu.  Identitas etnis dengan identitas Kristen hampir menyatu dalam gereja suku.

Kelima adalah orang Kristen yang mengutamakan kerja sama lintas agama untuk keadilan (Christians oriented to inter-religious cooperation for justice).  Kalangan ini berjuang membangun dan memperkuat kerja sama lintas agama, terutama dengan elemen Islam sebagai agama dengan penganut terbesar, untuk bersama-sama membangun Indonesia yang majemuk.

Menurut Adeney-Risakotta, kelima orientasi ini bukan berdiri sendiri dalam arti sebuah sikap dimiliki sebuah gereja atau umat Kristen di daerah tertentu, tetapi kelima orientasi itu dapat dimiliki semua orang Kristen dalam kadar yang berbeda-beda. 

Sikap politik umat Kristen Indonesia : Tiga Tipologi dan Lima Tingkat

Menurut Pdt. Daulay, mengacu kepada teori Bernie Adeney-Risakotta, dalam hubungannya dengan politik, sikap umat Kristen Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga tipologi.

Pertama, tipologi "Christians oriented to inter-religious cooperation for justice".  Pelopor sikap ini adalah PGI yang sejak awal bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis terhadap realitas politik yang ada serta senantiasa membangun kerja sama lintas agama.  Dengan kalangan Islam kerja sama dilakukan terutama dengan NU, Muhammadiyah, dan MUI.  Pdt. Daulay menyebutkan, bahwa umat Kristen di Indonesia menyadari bahwa masa depan negeri ini terkait erat dengan konsistensi NU dan Muhammadiyah menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi yang mampu mempersatukan seluruh elemen bangsa yang majemuk.   

Kedua, sebagian gereja di Indonesia dapat diklasifikasikan pada tipologi "Christians oriented to gaining or increasing political power".  Persoalan utama bagi kalangan Kristen tipologi ini adalah "power sharing", sejauh mana orang-orang Kristen menduduki jabatan politik di dalam pemerintahan.  Menurut penganut tipologi  ini, semakin banyak orang Kristen memegang kekusaan politik di lembaga eksekutif, yudukatif, maupun legislatif, maka posisi dan peran orang Kristen di Indonesia akan lebih baik dan kontributif.  Penganut tipologi ini lebih banyak dimiliki oleh kalangan Kristen Injili, Kharismatik dan Pentakostal. 

                                    

Luhut Binsar Pandjaitan (kiri), salah satu Menteri yang beragama Kristen https://www.cnbcindonesia.com/news/20230624130042-4
Luhut Binsar Pandjaitan (kiri), salah satu Menteri yang beragama Kristen https://www.cnbcindonesia.com/news/20230624130042-4

Ketiga, adalah tipologi "Christians oriented to enhancing regional autonomy (ethnic power)".  Terlepas dari tipologi pertama dan kedua, Gereja-gereja suku yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia mempunyai pandangan khusus, bahwa masa depan gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia sangat bergantung pada penguatan otonomi daerah, di mana identitas etnis melekat pada identitas agama.  Gereja-gereja suku di Papua, Minahasa, tanah Batak, Timor, Maluku dan Toraja menghendaki penguatan otonomi daerah, karena dengan demikian akan terwujud juga penguatan identitas kekristenan di daerah tersebut.  Menurut penganut tipologi ini, dalam kondisi politik Indonesia yang sangat dipengaruhi kebangkitan Islam politik, orientasi umat Kristen yang memiliki basis kuat di daerah-daerah tertentu bermanfaat dalam kerangka menciptakan "balance of power" sejauh sikap itu berorientasi pada penguatan Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai NKRI.   

Menurut Pdt. Daulay, tipologi Kristen yang berjuang hanya untuk mempertahankan status quo, dan Kristen apolitik yang hanya memikirkan masalah rohani dan surga agaknya semakin hilang di Indonesia. 

Sedangkan jika mengacu kepada teori Philip Wogaman, dari ketujuh jenis keterlibatan Kristen dalam politik, umat Kristen Indonesia mengalami lima dari tujuh tingkat keterlibatan itu.

Tingkat pertama, umat Kristen di Indonesia terus berjuang untuk berperan mempengaruhi etos (karakter) bangsa Indonesia, dengan bersikap positif, kritis, kreatif, dan realistis. 

Tingkat kedua, yakni memberikan pendidikan politik warga gereja mengenai isu-isu tertentu.  Seperti isu kebebasan beragama, HAM, pembangunan, dll.  Umumnya dilakukan melalui berbagai diskusi, lokakarya, dan seminar. 

Tingkat ketiga, yakni memberikan dukungan kepada orang atau partai tertentu (supporting particular candidates for office).    

Contoh tingkat ketiga : Jimmy Oentoro (paling kanan), pendiri dan juga pendeta senior di International Full Gospel Fellowship - Gereja Injil Seutuh International (disingkat IFGF GISI), mendukung paslon Prabowo Gibran, pada tanggal 2 Februari 2024.

https://journaldjakarta.id/rapi-gelar-deklarasi-dukung-capres-dan-cawapres-no-02/
https://journaldjakarta.id/rapi-gelar-deklarasi-dukung-capres-dan-cawapres-no-02/

Tingkat keempat, adalah keterlibatan Gereja dengan melakukan lobi-lobi politik kepada pihak pengambil kebijakan dan keputusan politik.    

Tingkat kelima, adalah membentuk partai politik berasaskan kekristenan.  Kehadiran Partai Damai Sejahtera di Pemilu 2004 dan 2009 merupakan contoh sehubungan hal ini.  Karena kisruh internal, partai ini meredup dan tidak lolos verifikasi administrasi untuk mengikuti Pemilu tahun 2014.       

Siapa kandidat pilihan Tuhan?

Menjelang pemilihan pemimpin, baik di tingkat RT sampai Presiden, pertanyaan tersebut mungkin pernah anda dengarkan dalam obrolan dengan keluarga ataupun rekan.  Pertanyaan yang mudah, namun tidak akan pernah memperoleh kepastian, karena kemungkinan sangat besar bahwa Tuhan tidak menjawabnya secara lahiriah.    

https://www.youtube.com/watch?v=o0KHkcQmFp8
https://www.youtube.com/watch?v=o0KHkcQmFp8

Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah orang yang religius, penulis menduga pertanyaan tersebut kerap muncul.  Hal yang baik.  Sebagai orang yang percaya Tuhan, kan, umat ingin mengetahui, diantara orang-orang yang menawarkan diri kepada rakyat untuk menjadi pemimpin melalui kontestasi yang terbuka di publik, manakah yang memperoleh persetujuan ilahi?      

Para politisi tahu itu.  Dan para politisi sering ingin menunjukkan adanya dukungan dari ilahi bagi mereka melalui pernyataan/kehadiran/deklarasi dari para rohaniwan.  Kalau perlu mengutip ayat-ayat kitab suci.  Atau para politisi tersebut memakai simbol yang diharap bisa mengasosiasikan dirinya sebagai 'good guy' dan 'orang pilihan Tuhan'.

Dalam diskusi/tanya jawab di sebuah radio Kristiani, saya pernah mendengar pertanyaan semacam itu diajukan ke pendeta yang menjadi narasumber.  Saat itu kontestasi Pilpres.  Sang pendeta tidak menyebutkan siapa pasangan yang menurutnya merupakan pilihan Tuhan.  Seingat saya, beliau hanya membahas masing-masing kandidat secara umum saja. 

Di tengah kontestasi sengit, terdapat tiga sikap umum yang dapat dilakukan.

Yang pertama adalah adalah tidak usah berlebihan mendukung calon pilihan anda.  Sedang-sedang saja.  Moderat saja dalam memberi dukungan.  Dukungan yang berlebihan bisa menimbulkan hubungan sosial bisa pecah.  Bagi para pendukung 'die hard', bisa timbul anggapan bahwa kalau bukan calon saya yang menang, maka akan hancurlah Indonesia.  Yang pacaran bisa putus, yang berumah tangga bisa cerai. 

Dari situs BBC.com (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47935315), disebutkan di tahun 2009, tingkat perceraian karena persoalan politik mencapai 402 kasus. Lalu, pada 2010, berkurang menjadi 334 kasus.  Pada 2011, kasus perceraian yang dilatarbelakangi persoalan politik mencapai 650 kasus. Namun, angka perceraian cukup tinggi karena persoalan politik terjadi pada tahun 2015 atau setahun setelah Pemilu 2014. Angkanya mencapai 21.193 kasus!

https://medium.com/side-a/the-righteous-mind-oleh-jonathan-haidt-ca99904b23d6
https://medium.com/side-a/the-righteous-mind-oleh-jonathan-haidt-ca99904b23d6

Selain itu, orang yang mati-matian mendukung calon tertentu secara berlebihan akan gampang kecele dan kecewa yang mendalam di kemudian hari.  Ada pepatah bahasa Latin, Honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, mulai berubahlah tingkah lakunya. Kekuasaan memang memesona dan menggetarkan. Banyak orang mabuk kekuasaan.  Banyak orang jatuh karena menyalahgunakan kekuasaan.  Sejarah sudah memberi banyak contoh.  Saat kita mendukung calon tertentu, tetap sisakan ruang untuk keraguan, betapapun kecilnya, bahwa sang calon yang kita dukung juga manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan.  Sebagaimana kita sudah diperingatkan juga oleh Oscar Wilde, "Every saint has a past, and every sinner has a future."

Yang kedua, pihak pendukung calon yang berbeda bukanlah musuh anda.  Dalam sikap mendukung yang berlebihan, sering kita merendahkan pihak lain.  Kita beranggapan pihak kitalah yang 'benar', sementara pihak 'sana' hanyalah orang-orang bodoh yang diperdaya oleh jargon kosong para buzzer dari kandidat yang mereka dukung.  Pihak 'sana' didegradasi dengan sebutan-sebutan yang menghina.  Padahal, pendukung pihak 'sana' adalah orang-orang yang tidak berbeda dengan kita, dan kita semua umat Tuhan yang dikasihi-Nya.  Dan secara teologis, bukankah sebagai pengikut Kristus, kita meyakini bahwa semua orang adalah sama di hadapan Allah, yaitu para pendosa yang diselamatkan semata oleh kasih karunia Allah.  Tidak ada orang yang lebih suci dari orang lain.  Kita semua membutuhkan belas kasihan Allah.  Kalaupun kita beranggapan pihak 'sana' adalah musuh, bukankah Yesus justru mengajarkan, "kasihilah musuhmu"?  Sanggupkah kita?  

Yang ketiga, adalah doa.  Jika calon yang anda dukung kalah, doakan calon yang menang.  Setelah kontestasi selesai, kita disadarkan bahwa semua pihak berada dalam suatu jaringan timbal balik yang tak dapat dielakkan, terkait dalam satu tenunan takdir.  Apapun yang secara langsung mengena pada seseorang, akan berpengaruh terhadap semua secara tidak langsung.  Sikap mempertahankan keterbelahan justru akan kontra produktif.  Pemilu hanyalah peristiwa rutin, sementara urusan merawat Indonesia adalah kepentingan jangka panjang yang jauh lebih penting.   Inilah yang menurut Gus Mus (Ahmad Mustofa Bisri) dalam tulisan di harian Kompas tanggal 28 Januari 2024, disebut sebagai "kewarasan dalam berpolitik".                

 

Golput, atau tidak menggunakan hak suara?

Pada era Orde Baru, fungsi Pemilu hanya sebagai "tukang stempel politik" bagi kekuasaan Soeharto.  Kita tidak boleh lupa, bahwa saat ini kita hidup dalam kondisi yang berbeda.  Indonesia saat ini adalah negeri yang relatif demokratis.  Golput ataupun tidak menggunakan hak suara, bukanlah hal yang tabu.  Namun bagi penulis sendiri, kondisi demokrasi saat ini, dengan segala kekurangannya, perlu kita syukuri.  Karena perjalanan kita sebagai bangsa untuk sampai di titik demokrasi saat ini telah memakan korban nyawa yang tidak sedikit.  Demokrasi yang kita nikmati saat ini dibayar dengan harga yang mahal.         

Yang saya maksud adalah korban yang berjatuhan saat era Orde Baru, karena dianggap komunis, dan juga korban saat era Reformasi (1998 / 1999).  Kebebasan dan demokrasi yang kita jalani sampai saat ini tidaklah jatuh dari langit, tapi diperjuangkan dan melewati rezim Orde Baru.  Barangkali ada yang kurang setuju untuk memasukkan tragedi 1965/1966 sebagai bagian dari perjuangan untuk demokrasi,  Bukankah korban berjatuhan karena kondisi politik yang chaos?   Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa sejak itulah Orde Baru berkuasa dan demokrasi dikendalikan Soeharto.  Sehingga, para korban 1965/1966 juga bagian dari long march bangsa Indonesia menuju demokrasi.     

https://prada.substack.com/p/forgotten-may-12nd-1998-riot-in-indonesia
https://prada.substack.com/p/forgotten-may-12nd-1998-riot-in-indonesia

https://ypkp1965.org/blog/2022/01/06/genosida-1965-1966-kuburan-massal-ditemukan-di-cirebon/
https://ypkp1965.org/blog/2022/01/06/genosida-1965-1966-kuburan-massal-ditemukan-di-cirebon/

Atas dasar itu, saya berpendapat kita harus memanfaatkan hak suara yang ada pada kita.  Bukan semata karena hak kita.  Tapi juga sebagai ungkapan rasa syukur, dan menghargai para korban yang telah membayar mahal demokrasi yang kita nikmati saat ini. 

                                                                                                                         ****************

Umat Kristen Indonesia, bersama dengan umat agama lain, memiliki pandangan atau sikap terhadap politik.  Ada yang berbeda, tapi bisa jadi ada yang sama.  Dan semua agama mendasarkan pada kebenaran yang diyakininya.  Kembali saya teringat Gandhi.  Di bagian pengantar otobiografinya, Gandhi menulis, "Ratusan orang seperti saya boleh enyah, tetapi biarlah kebenaran bertahta."  Barangkali kita tidak akan pernah sampai pada 'kebenaran yang bertahta' sebagaimana dicita-citakan Gandhi, di tengah dunia yang terpolusi dosa.  Tapi kita semua terpanggil untuk mencapainya, dengan apa yang masing-masing ada pada kita.  Termasuk dalam politik.     

Jakarta, 14 Februari 2024

Subuh menjelang Pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun