Batara meninggalkan Indonesia tahun 1959 dengan mimpi dan harapan yang besar untuk bisa membangun bangsanya menjadi lebih baik. Namun kenyataannya, ia datang kembali ke Indonesia 25 tahun kemudian, sebagai seorang anak bangsa dengan cap "tidak bersih" oleh rezim Orde Baru yang berkuasa.Â
Dalam buku tipis "Catatan Spiritual di balik sosok Sobron Aidit" (BPK Gunung Mulia, 2005), diceritakan bahwa setiap kali Sobron mengucapkan bagian doa Bapa Kami mengenai pengampunan, seakan ada sesuatu yang menghambat kerongkongannya.
"Sepertinya saya berbohong saat mengucapkannya! Bagaimana saya mampu mengampuni orang yang sudah membunuh keluarga, teman dan sahabat saya...bahkan ratusan ribu sampai jutaan jiwa!"
Luka batin yang dalam membutuhkan pengampunan yang mendalam. Urusan ampuni -- mengampuni , maaf -- memaafkan sehubungan peristiwa G30S 1965 ini memang rumit dan kompleks.
Setelah Orde baru berakhir, hanya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berani meminta maaf atas kesalahan masa lalu. Gus Dur meminta maaf kepada korban 65, orang-orang yang dituduh PKI dan keluarga yang dibunuh. Anehnya (atau justru tidak aneh?), banyak pihak yang mencela permintaan maaf Gus Dur.Â
Bulan Juni 2018 lalu Batara telah meninggal di Belanda, dalam usia 86 (Batara lahir tanggal 25 Mei 1932). Batara memang memperoleh kewarganegaraan Belanda sejak Maret 1984.Â
Dalam kunjungan Batara tahun 2007 di Jakarta, diadakan pertemuan yang diprakarsai Sabam Sirait (politikus PDI-P), dan menghadirkan beberapa ekonom senior (antara lain Ali Wardana, Daoed Joesoef, Hari Tjan Silalahi, Adrianus Mooy, Thee Kian Wie, dll).Â
Pertemuan itu dirangkum oleh Sabam Siagian dan ditampilkan dalam kolom "Catatan Jakarta" di harian Suara Pembaruan tanggal 9 Juni 2007, dengan judul "Pertemuan dengan Batara Simatupang". Sabam Siagian menuliskan bahwa salah seorang peserta diskusi menjuluki Batara sebagai "The wandering member of the Berkeley Mafia".Â