Setelah selesai studinya di Stanford, Amerika Serikat, pimpinan FE UI (Prof. Sadli) menugaskan Batara belajar ekonomi sosialis di Yugoslavia, dan akhirnya di Polandia. Alasan penugasan tersebut adalah dirasakan perlunya dosen FE UI yang memahami ekonomi sosialis. Saat itu FE UI sering diserang oleh kaum 'kiri' karena dianggap tidak mengajarkan ekonomi sosialis dalam kurikulumnya. Â
Batara menceritakan beberapa hari setelah menerima surat penugasan tersebut, dirinya ditelepon Prof. G. Pauker, yang waktu itu diperbantukan di Rand Corporation (sebuah think-tank di Amerika Serikat), bahwa tersedia beasiswa di Stanford University untuk merampungkan studi doktoral bagi Batara.
Namun tanpa pikir panjang, Batara menolak tawaran beasiswa tersebut, dan setia pada penugasan yang diberikan FE UI. Batara kemudian berangkat ke Yugoslavia dan akhirnya ke Polandia.Â
Saat Batara di Polandia, terjadilah peristiwa G30S tahun 1965. Warga Indonesia yang belajar di negeri-negeri sosialis terkena dampaknya. Bulan September 1966, KBRI di Warsawa, memerintahkan para mahasiswa Indonesia untuk hadir dan menjalani screening. Batara dan 10 orang mahasiswa Indonesia lain, menolak hadir. Â Singkatnya, mereka menolak Orde Baru. Â Dalam usia muda dan penuh idealisme, Batara dan kawan-kawannya barangkali tidak pernah membayangkan bahwa keputusan tersebut berpengaruh secara fundamental terhadap kehidupan mereka. Â Â Â
Tak menunggu lama, tanggal 4 Oktober 1966 KBRI menerbitkan surat keputusan yang mencabut passport Batara dan 10 mahasiswa lainnya. Batara dan teman-temannya menjadi manusia tanpa tanah air. Â Â Â Â Â
Batara berkisah, "Bagi saya keputusan pencabutan passport oleh KBRI di Warsawa ini sangat mengejutkan dan tidak adil. Nasib yang sama juga menimpa ratusan mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri sosialis di Eropa Timur, Uni Soviet, dan Asia."
Buat penulis yang lahir dan besar di era Orde Baru, sukar membayangkan penderitaan yang dialami oleh para mahasiswa yang menjadi "stateless" tersebut.
Dalam hal ini, film "Surat Dari Praha" (2016), patut diapresiasi, karena membuat kita memiliki sedikit gambaran mengenai kehidupan para mahasiswa "stateless" tersebut. Film ini berkisah tentang mahasiswa Indonesia yang mengalami nasib seperti Batara, dengan lokasi di Praha (menggunakan nama : Jaya - diperankan Tyo Pakusadewo. Â Di awal film disebutkan "inspired by true events", sayangnya tidak disebutkan sosok yang menjadi inspirasi film ini). Â Keterasingan, kesepian, dan barangkali perasaan dikhianati oleh negara yang mereka cintai, merupakan keseharian mereka. Tidak terkecuali Batara.Â
Berdamai dengan diri sendiri
Saat membaca otobiografinya, penulis merasa ada sedikit penyesalan mengenai penolakannya terhadap tawaran beasiswa PhD di Stanford. Batara menyebutkan, ia mungkin terlalu antusias untuk mempelajari sosialisme di Yugoslavia, sehingga tidak mempertimbangkan lebih lanjut tawaran beasiswa PhD di Stanford. Namun, sepertinya Batara sudah berdamai dengan dirinya.Â
Dalam pertemuan dengan Emil Salim tahun 1984 (kedatangan ini dibantu oleh Sabam Siagian, wartawan senior. Dalam kunjungan ini, Batara wajib secara rutin melapor ke bagian intel kepolisian), Emil Salim menuliskan, "Saya tahu Batara menderita batin. Namun ia bercerita dengan menekankan fakta-fakta, tak ada emosi atau kebencian yang meluap... Tak ada kata mengeluh dari mulut Batara." Â Â Â