Adapun usul lain datang dari Anggawira, Wakil Komandan Tim Kampanye Nasional (TKN Fanta). Inisiasi yang diusulkan dua hari setelah usulan Hashim, 13 Oktober 2024, menunjukkan bahwa ada kekhawatiran dan perhatian yang cukup besar terhadap dampak kenaikan PPN terutama yang berfokus pada pembatalan pemotongan tarif PPh badan menjadi 20%. Usulan-usulan tersebut mencerminkan dinamika politik dan ekonomi di mana ada tekanan untuk memastikan kebijakan fiskal tidak membebani masyarakat terutama pelaku UMKM dan masyarakat menengah kebawah pada masa transisi pemerintahan. Pada akhirnya, dua usulan tersebut sebatas wacana saja sebab masih ada cara lain mengakomodir kepentingan itu sebelum Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 disahkan.
Belakangan, lebih tepatnya setelah kampanye petisi #TolakPPN12Persen viral ke permukaan, usulan perppu kembali mencuat. Dari pengamatan sepintas di aplikasi X/Twitter, komunitas yang memviralkan tagar tersebut mendapat sumbangan immaterial berupa asupan agitasi dan propaganda oleh lembaga penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios). Gelombang penolakan kenaikan PPN pun tidak kunjung redup meski isu politik lain silih menggeser trend perbincangan kanal X. Jumlah penandatangan petisi pun masih berlanjut meskipun hanya di ambang 0,1% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia Raya.
Konten agitasi #PajakMencekik kini juga mulai menyentuh isu disparitas perpajakan dengan cara yang destruktif dan mendistorsikan etimologinya secara semu dari struktur makroekonomi kita. Hal ini mencuat setelah Direktur Hukum Celios, Mhd Zakiul Fikri, mengangkat kasus perppu Tax Amnesty di era Presiden Jokowi sebelumnya. Dalam pernyataannya, Zakiul menekankan bahwa, “jika Jokowi berani mengakomodasi kepentingan orang kaya, maka Prabowo seharusnya melakukan hal yang sebaliknya.”
Kritik terhadap Usulan Perppu Destruktif
Pertama, kita harus berani menyatakan bahwa sebenarnya pandangan tersebut juga suatu bentuk destruksi (sarat perkelahian kelas) terhadap nilai-nilai dasar negara Republik Indonesia. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 asli dengan tegas menyatakan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Prinsip ini menegaskan bahwa sistem ekonomi—kebijakan fiskal—kita tidak hanya berorientasi pada keuntungan individu atau kelompok, tetapi harus mengutamakan kepentingan bersama (Nasional) dan solidaritas sosial dengan tetap mengacu pada konsep ideologi sekuler pembentuk Pancasila: Sosio-Nasionalisme (kekayaan yang tak mengalir ke luar) dan Sosio-Demokrasi (permufakatan/perwakilan berdasarkan kebijaksanaan paripurna dan berkeadilan sosial).
Kedua, penerbitan perppu harus tetap memenuhi ketiga syarat klausul "kegentingan yang memaksa" sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Pertama, harus ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum—bukan polemik politik—dengan cepat. Kedua, undang-undang yang sudah ada harus tidak memadai untuk menyelesaikan masalah tersebut—padahal UU HPP sudah jelas mengatur prosedur konstitusional untuk mengubah klausul penetapan tarif PPN dan waktu ditetapkannya PPN 12%. Ketiga, ada kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan prosedur pembentukan undang-undang biasa.
Jadi, tidak bisa disimplifikasikan bahwa penerbitan Perppu hanya seputar political will saja. Sebab, bila Presiden Prabowo salah langkah mencerna "pandangan subjektif Presiden", moral hazard demokratis Prabowo kelak dipertanyakan kembali.
Ketiga, Perppu yang diterbitkan kurang dari seminggu sebelum pelaksanaan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat 1 huruf b menimbulkan ketidakpastian hukum (uncertainty of law). Selain integrasi dan stabilitas hukum akan terguncang, hal tersebut juga mengganggu perencanaan bisnis dan menurunkan kepercayaan investor. Betapa besar kerugian material yang mungkin belum dikalkulasikan.
Kesimpulan
Pada akhirnya, isu kenaikan PPN bukan hanya soal angka dan persentase, tetapi juga tentang keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Dalam konteks politik yang penuh dengan polarisasi dan ketegangan, wacana penerbitan perppu untuk menunda atau membatalkan kenaikan PPN menjadi semacam ujian bagi kepemimpinan baru. Perppu, sebagai alat kebijakan darurat, harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Jika digunakan tanpa dasar yang kuat, bisa berbalik menjadi pisau bermata dua.
Pemerintah baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto harus membuktikan bahwa mereka sanggup menavigasi tantangan penerapan PPN 12% dengan bijak, mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kelompok tertentu—kelompok menengah saja. Hanya dengan demikian, kredibilitas dan kepercayaan publik bisa dipertahankan di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini.