Mohon tunggu...
Radbenitos
Radbenitos Mohon Tunggu... Tutor - Keluarga Marhaenis

Marhaenism affiliate with IKA

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perppu PPN: Obati Luka dengan Belati

27 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 28 Desember 2024   15:45 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi polarisasi masyarakat pasca pilpres, sumber: Grok AI

Pasca pemilihan presiden 2024, situasi politik di Indonesia masih dipenuhi dengan polarisasi yang mencolok di kalangan masyarakat. Polarisasi ini tidak hanya terbatas pada perbedaan pilihan politik, tetapi juga merambah ke berbagai isu kebijakan publik yang krusial. Ketegangan antara kelompok masyarakat diperparah oleh informasi yang beredar di media sosial (terutama di aplikasi X/Twitter), yang cenderung memperkuat pandangan program kampanye pasangan calon pilpres yang telah kalah berkompetisi.

Salah satu isu yang memicu ketidakpuasan adalah rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, yang telah menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Banyak pihak, termasuk pelaku usaha dan organisasi masyarakat sipil, mengkhawatirkan bahwa kenaikan ini akan semakin membebani daya beli masyarakat secara berkepanjangan yang sudah dalam kondisi rentan.

Sebagai respons terhadap penolakan yang meluas ini, muncul wacana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai upaya untuk menunda atau bahkan membatalkan kenaikan PPN. Usulan penerbitan perppu ini didasarkan pada argumentasi bahwa dinamika atas polemik ini memerlukan intervensi cepat dan luar biasa dari pemerintah, yang salah satunya dapat diwujudkan melalui penerbitan perppu.

Artikel ini akan mengulas kembali dinamika tuntutan penerbitan perppu untuk penundaan kenaikan PPN. Apakah perppu menjadi solusi yang bijak, atau justru memperburuk ketidakpastian ekonomi? Pertanyaan inilah yang hendak dibahas sekalipun aspirasi yang mendasari tuntutan tersebut tidak serta-merta dikesampingkan, melainkan sebagai indikator pemenuhan syarat "kegentingan yang memaksa".

Kilas Balik

Rencana untuk menaikkan PPN menjadi 12% sebenarnya bukanlah isu baru dalam ranah kebijakan perpajakan. Kebijakan ini telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021. Oleh karena itu, kritik yang dilontarkan oleh pihak oposan menilai bahwa rencana ini murni merupakan kelanjutan dari program rezim yang ada sebelumnya. 

Kenaikan tarif yang dilakukan secara bertahap adalah upaya jalan tengah dengan tetap mempertimbangkan prospek basis penerimaan negara sekaligus mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri—terutama kita mengingat sosok Prabowo Subianto yang kerap mengkritik kebijakan utang negara pada saat beliau beberapa kali masih berkampanye sebagai calon Presiden sebelum pilpres 2024. Selain itu, kenaikan tarif PPN juga selaras tren international best practices, yang mana PPN merupakan pos penerimaan pajak andalan yang berbasis konsumsi saat dan setelah pandemi. Kebijakan ini tidak hanya membantu pemerintah dalam mengatasi defisit anggaran, tetapi juga memberikan fleksibilitas untuk mendanai program-program sosial insidental yang penting bagi masyarakat.

Dalam konteks kebijakan fiskal, penting untuk memahami adanya interdependensi fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa setiap keputusan terkait pengeluaran pemerintah dan perpajakan memiliki dampak timbal balik terhadap stabilitas dan keberlanjutan ekonomi secara keseluruhan. Sebagaimana juga terlihat dari pendekatan holistik yang telah dirancang pemerintah untuk meredam efek penurunan daya beli masyarakat melalui insentif perpajakan senilai Rp.265 Triliun atau sebesar 1,18% dari PDB, serta paket stimulus ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.

Usulan Peppu

Usulan penerbitan perppu untuk membatalkan atau menunda kebijakan kenaikan PPN 12% juga bukan barang baru, sebab sebelum pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, usulan ini sudah diinisiasi oleh adik kandung orang nomor satu Republik, Hashim Djojohadikusumo, selaku Ketua Satgas Perumahan. Lewat usulan perppu, Hashim mengharapkan adanya instrumen pemotongan tarif pajak atas pembelian rumah rakyat demi mendongkrak daya beli. Usul tersebut hadir jauh sebelum adanya Paket Kebijakan Ekonomi Kesejahteraan Kementerian Keuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun