Mohon tunggu...
radbenitos
radbenitos Mohon Tunggu... Tutor - Nasionalis peranakan Batak-Jawa

Kawan anti nekolim. Dekmar. Kolom filsafat adalah kenyamanan bagi orang-orang woles maupun jalan ninja bagi clan Uchiha dan penggali sejarah ide.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Berjumpa dengan Kapitalisme Brutal Indonesia melalui Politik Minyak Goreng

29 April 2022   00:23 Diperbarui: 29 April 2022   23:59 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahun 2022, harga minyak goreng menjadi sorotan publik karena harga pasarannya yang naik drastis nyaris dua kali lipat. Pada saat itu, stok minyak goreng belum terbatas, ritel-ritel modern masih memajang produk kemasan minyak goreng di etalasenya. Namun, mendekati akhir bulan Februari masyarakat makin panik lagi, sebab isu minyak goreng langka sudah tersebar di mana-mana.

Minyak goreng langka di tengah harga yang tak terjangkau adalah fenomena yang tak wajar bagi kita. Tentu saja bisa kita pastikan bahwa ada permainan menimbun di tingkat distribusi. Apalagi mengingat awal bulan puasa kala itu jatuh di awal bulan April--permintaan akan melonjak saat bulan puasa tiba--dan pada saat itu (bulan puasa), harga akan lebih tinggi lagi untuk memperbesar margin keuntungan. Ini adalah contoh pertama kebrutalan kapitalis Indonesia.

Beberapa waktu setelah kelangkaan minyak goreng di pasaran, publik dibuat riuh kembali dengan temuan Kejaksaan Agung yang menetapkan tersangka korupsi ekspor minyak goreng. Awal mulanya berasal dari laporan masyarakat dipertengahan Maret yang mensinyalir adanya pelanggaran aturan ekspor minyak goreng.

Kejagung membuktikan tajinya hanya dalam kurun waktu sebulan. Praktik korupsi yang menyeret pejabat kementerian perdagangan ini berkaitan dengan tingginya permintaan minyak goreng di pasar internasional. Di samping itu, disebutkan tiga tersangka lain di tingkat perusahaan produsen minyak goreng akbar di Indonesia, adalah contoh kedua kebrutalan kapitalis Indonesia yang nanti juga akan dibahas dalam artikel ini.


Kontrol harga

Setelah Kejagung berhasil menangkap tersangka korupsi ekspor minyak goreng, Presiden Jokowi lantas menetapkan larangan ekspor terhadap bahan baku produk minyak goreng (RBD) dan produk turunannya (MGS). Melalui Menko Perdagangan, Airlangga Hartanto, dimaklumatkan pula bahwa kebijakan Presiden Jokowi tersebut yakni dalam rangka menekan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan hingga di level 14.000 rupiah.

Kebrutalan ketiga kapitalis Indonesia dipertunjukkan dengan reaksi Pabrik Kelapa Sawit (PKS) nakal yang sudah kejang-kejang dengan gempuran bertubi-tubi kebijakan politik sawit oleh pemerintah. PKS-PKS nakal ini kemudian secara sepihak menetapkan harga Tandan Buah Sawit (TBS) dari petani secara brutal, jauh dari standar yang ditetapkan pemerintah.

Penjelasan oleh Airlangga Hartanto mengisyaratkan bahwa pemerintah akan mengambil langkah kontrol harga komoditas minyak goreng. Kontrol harga adalah topik yang dipandang provokatif oleh pelaku juga pemerhati ekonomi (pasar bebas) di seluruh dunia. Ketika kita memperbincangkan "kontrol harga" di forum diskusi internasional, sebagian besar pendapat akan mengarah langsung ke kebijakan negara-negara sosialis yang pernah ada sejak era perang dunia II, seperti Jerman Timur dan Venezuela.

Padahal tidak demikian. Amerika Serikat pada era Presiden Roosevelt sampai dengan Truman pernah memberlakukan kontrol harga untuk mengendalikan inflasi dari krisis yang masih membayangi ingatan ekonomi AS sejak Depresi Besar (Malaise) kala itu. Restrukturisasi (cara) produksi pasca PD II yang menciptakan bottleneck dan membuat pasokan barang kebutuhan tidak dapat memenuhi permintaan, dianggap sebagai dasar alasan ekonom-ekonom AS abad 20 untuk mengambil langkah pengendalian harga.

Situasi inflasi di era pandemi yang dilihat mirip dengan latar belakang tersebut, dipandang oleh Isabella Weber, seorang pemerhati ekonomi-politik berdarah Jerman, sebagai langkah yang bijak untuk memerangi inflasi di AS; paling tidak dalam mengulur waktu daripada menoleransi ledakan keuntungan terus menerus.

Di Indonesia, kritik terhadap kebijakan kontrol harga juga dilayangkan oleh peneliti Indef. Dari berita yang dilansir viva.co.id, Ahmad Heri Firdaus menilai kebijakan pemerintahan Jokowi tidak komprehensif dan semestinya jangan hanya bertujuan mengamankan pasokan bahan baku minyak goreng dalam negeri saja. Padahal dengan ketersediaan pasokan minyak goreng dalam negeri yang melimpah, berarti harga akan kompetitif dan terjangkau oleh masyarakat.

Foto fitur berita viva.co.id
Foto fitur berita viva.co.id

Kritik terhadap kebijakan Jokowi juga dilayangkan oleh DPR fraksi Partai Demokrat secara provokatif, yang menilai hampir seluruh kebijakan pemerintahan Jokowi menimbulkan masalah baru. Padahal dalam kasus minyak goreng ini dalam pandangan penulis masalahnya cuma satu, yakni betapa brutalnya kapitalis Indonesia.


Brutalisme

Brutalisme adalah diksi yang paling cocok dengan kondisi struktur mode produksi (produk sawit) di Indonesia. Argumen ini tidak berlebihan, terlihat jelas dari reaksi akhir PKS nakal terhadap strategi kebijakan pemerintahan; yakni menyiratkan langkah untuk mempertahankan margin keuntungan terbesar bagi akumulasi kapital, sedangkan petani sawit menjadi salah satu korban dari kebrutalan terstruktur ini.

Screenshot kutipan Karl Marx dari Goodreads.com
Screenshot kutipan Karl Marx dari Goodreads.com

Pada awal abad 19, Karl Marx telah menggambarkan kondisi eksploitasif cara produksi kapitalis. Dalam magnum opus-nya, Das Capital, ia memulai topik yang dianggap remeh oleh pengamat ekonomi saat itu, yaitu nilai suatu komoditas. Pengantar abstraksi Das Capital, dua abad lalu, nyatanya mirip dengan fenomena brutalitas kapitalis sawit Indonesia.

Pada mekanisme pasar, atau teori ekonomi dasar tingkat SMA, nilai (yang ditukarkan dengan uang) untuk suatu barang ditempatkan secara relatif dalam hubungan kuantitatif; begitupun dengan harga minyak goreng yang naik disebabkan karena permintaannya yang juga naik.

Tetapi Marx(isme) tidak berhenti di situ, penyelidikan nilai tukar atas kuantitasnya sebagai komoditas mengabaikan nilai guna secara sosial. Harga yang layak dibayarkan untuk seliter minyak goreng tidak berhenti di tangan seorang borjuis pemilik pabrik, tetapi mengalir juga kepada (upah) kerja petani di rantai hulu produksi.

Konsep ideal ini kerap direduksi ditangan para pemburu rente, contohnya PKS nakal. Kita masyarakat awam hanya menerima nilai pakai atas nilai tukar minyak goreng dari pabrik sebagai utilitas bahwa minyak goreng tersebut bermanfaat bagi makanan yang kelak kita santap. Akan tetapi, nilai guna sosial yang lebih detail tak pernah terlihat dari kemasannya atau dari etalase ritel, kecuali bagi yang pernah mendalami ajaran (modern wisdom) marxisme.

Akumulasi kapital dengan cara kerja spekulatif dan perburuan rente toh hanya akan dinikmati oleh borjuis kapital. Seseorang yang hanya bertindak sebagai pekerja/pegawai memiliki masa bakti yang terbatas, dan akan berakhir (pensiun) tanpa kepemilikan perusahaan. Dalam lingkaran setan kapitalisme, seorang pekerja hanya akan menikmati hasil dari cara produksi kapitalis dalam jangka waktu tertentu.

Fenomena brutalisme kapitalis Indonesia yang secara ringkas disebut sebelumnya, telah mencapai tingkat ketidaksadaran masyarakat kita yang turut merayakan kebrutalannya. Bahkan pegawai ritel minimarket pun turut menyembunyikan pasokan. Ini menandakan brutalisme kapitalisme tidak hanya berlangsung di struktur produksi, melainkan sampai di tingkat distribusi. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai struktur pasar di Indonesia yang saat ini tidak sehat turut berkontribusi terhadap mandeknya kebijakan pemerintah terhadap minyak goreng.



Pertanyaan reflektif bagi kita, apakah harga minyak goreng yang di atas rata-rata itu sudah layak untuk memberi apresiasi bagi seluruh komponen produksi yang terlibat? Anda bisa pikirkan itu melalui doa sebelum makan yang sehari-hari anda ucapkan, "...terima kasih atas berkat-Mu, Tuhan, melalui hidangan ini... Terima kasih pula atas tangan-tangan yang bekerja di balik makanan ini..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun