Pada Selasa siang, 19 April 2022, sejumlah orang yang menamakan diri Orkes Ahmad Khozinudin (OAK) datang menyambangi kantor Menkopolhukam. Kedatangan mereka bermaksud menginisiasi perhelatan akbar untuk membahas penerapan sistem khilafah di Indonesia.
"Video ini juga nanti sampai kepada Pak Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan sehingga berkenan untuk menjadwalkan pertemuan dengan kami, kalau lah tidak dengan seluruh Kementerian atau lembaga terkait untuk membicarakan khilafah, paling tidak dengan Pak Menteri (Mahfud MD)", kata salah satu rombongan, seperti yang dilansir dari berita detik.com (selengkapnya klik: "Ada Pihak Ajak Bertemu-Gelar Simposium Bahas Khilafah, Ini 3 Saran Mahfud")
Kalaupun mereka pandir dalam pandangan sebagian orang, namun mereka cukup paham alur politik praktis yang dengan agresifnya datang menghadap Mahfud MD (Menkopolhukam). Dua tahun lagi, 2024, bukan waktu yang masih lama. Pembahasan mengenai pemilu, sudahlah cukup intens di waktu sekarang ini; kalau tak percaya, tanya saja orang kelurahan.
Orang memang sudah mulai bosan menghadapi perhimpunan pengusung khilafah, tapi tidak dalam politik. Isu khilafah, separatis, maupun disintegrasi, merupakan tantangan tersendiri oleh aktor-aktor politik, khususnya yang berkecimpung di partai politik. Apalagi setelah dilarangnya organisasi seperti HTI tempo lalu, peristiwa itu membuka setitik harapan untuk meng-counter balik narasi khilafah.
Dari sekian tokoh yang sudah digembar-gemborkan maupun yang terukur punya kans untuk berkontestasi di pilpres mendatang, Puan Maharani harus khawatir, apalagi ia seorang peremPUAN (diksi politis belakangan ini).
Tentu kita sudah tahu, (isu) khilafah salah satu cara untuk membatasi peran wanita dalam ruang publik. Entah kebetulan atau tidak, momentum orkes tersebut ada di waktu menjelang Hari Kartini--ikon perempuan radikal inspirasi Indonesia
Kalau hanya rombongan orkes, tentu Puan tak perlu khawatir berlebih, faktanya Orkes Ahmad Khozinudin adalah salah satu rangkaian setelah jumpa akbar yang diklaim setaraf provinsi beberapa waktu sebelumnya.
Kekhawatiran Puan (dalam hal ini PDIP) pun tersirat dari gestur umbar-umbar Megawati beberapa hari lalu dihadapan awak media melalui teleconference. Megawati mengeluh bahwa beliau sudah berumur (sebagai ketua partai) dan kekurangan tenaga untuk mengelola Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Loh? Adakah hubungannya?
Dari soal partai, mengapa Megawati lompat ke BRIN??
BRIN adalah lembaga non-kementerian baru. Meskipun sudah disanggah, namun BRIN secara struktural merupakan proyek mercusuar politik era Jokowi. Adakah alasan lain untuk membedakan ristek di bawah naungan Kemendikbud dengan BRIN yang otonom selain dikotomi akademis dan politis?
Di samping itu, meskipun bernomenklatur "Riset dan Inovasi", BRIN tak sekadar ilmu eksak atau techno-junkie, ia meliputi ilmu sosial dan humaniora. Oleh sebab itu BRIN bisa "diberdayagunakan" untuk mengamati fenomena sosial masyarakat kita yang keblinger khilafah. Jumlahnya yang tak sedikit (meski sayup) menandakan kegagalan sistem pendidikan Nasional setelah 76 tahun merdeka, yang selama ini kebanyakan hanya berkutat di bidang akademis.
Kematian HTI yang kiprahnya dikenal sebagai pengusung khilafah, tak menghentikan narasi khilafah dalam ruang-ruang yang saat ini samar; OAK misalnya menggunakan term advokasi dan analis sosial. Populasi muslim terbesar adalah inang bagi gerakan tersebut untuk direalisasikan. Mirip dengan sejarah khilafah itu sendiri sejak Abu Bakr, objektifnya bukan soal konversi iman (ingat lagi soal populasi muslim terbesar, -red) melainkan invansi atau penaklukkan; yang secara logis dibuktikan lewat istilah rampasan perang jihad/holy war. "Proxy War!", tukas intel kompasianer.
Apakah Puan juga khawatir dengan keluhan ibundanya sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H