![561881-20220210053340-625ef57cbb448626d07b4522.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2022/04/20/561881-20220210053340-625ef57cbb448626d07b4522.jpg?t=o&v=555)
Oleh sebab itu sekiranya benar--dan lagi-lagi tidak salah--atas apa yang disebut oleh presiden PKS, Ahmad Syaikhu, bahwasanya "Radikalisme tidak bersumber dari Masjid dan pesantren"; dan ini semestinya disambut secara positif oleh kalangan pemikir dan akademisi.
Radikalisme Soekarno
Bangsa Indonesia tidak hanya mengenal Soekarno sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia, melainkan juga pemikir dan pelaku retorika kemerdekaan Indonesia. Dalam artikelnya yang berjudul, "Non--cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa-Aksi dan Machtsvorming?", kata radikal dituliskan sebanyak tiga puluh satu kali. Soekarno dengan DBR-nya yang membuat para pengagumnya menerima kesan "radikal" bukanlah suatu kenistaan--begitupun hasil kemerdekaan Indonesia bukan pula sebuah kenistaan.
Lagipula dengan gagasan radikalnya, lantas tidak menjadikan seorang Bung Karno sebagai bramacorah seperti pelaku teror Ba'asyir, bahkan terlibat dalam aksi demonstrasi pun tidak pernah ia lakonkan. Mahfud MD yang seorang Menko Polhukam akhirnya menyatakan bahwa radikalisme Soekarno adalah radikalisme positif; dikarenakan sudah terlanjur lama radikalisme diamini sebagai upaya mengubah status quo negara.Â
Jasa besar founding fathers memang menggubah status quo kekuasaan nekolim menjadi kekuasaan dan kedaulatan rakyat Indonesia dengan wujud barunya Negara Republik Indonesia. Konsistensi (disiplin) filsafat itu masih berlanjut setelah aksi politik machtsvorming massa marhaen di atas prinsip humanisme, yang menjadi akar inspirasi gerakan kemerdekaan kita, ya apalagi kalau bukan KEDAULATAN RAKYAT (dengan berdasar kepada...). Konsistensi itu masih bisa kita telusuri jejaknya melalui pembacaan sejarah Republik ini, yang oleh Sekjen Presidium IKA GMNI dirumuskan sebagai Lima Pilar Kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Proklamasi NKRI, Sumpah Pemuda, dan Kebangkitan Nasional.
Melalui tulisan singkat ini, saya merangsang dan mengajak siapa saja, terutama BNPT dan Kementerian Pendidikan agar sejernih mungkin mengartikulasi kebijakan negara sebagaimana estafet dalam mewujudkan konstitusi bernegara kita. Mbok kalau membuat kebijakan sepatutnya berakar dari realitas sosial yang hidup dan berkembang, ojok ngawur dan ngapusi. Apakah kita mesti bangga sebagai generasi penerus bangsa yang gagap?