Mohon tunggu...
Hilmia Wardani
Hilmia Wardani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kompasianer amatir & nikonian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop Kuliner "Nggepuk" di Tempat Wisata: Ini Harapanku untuk Kementerian Pariwisata

6 Januari 2015   22:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:41 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lokasi wisata yang rekomended itu kalau pemandangannya indah dan kulinernya lezat. By Hilmia Wardani


Tidak ada ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa asyiknya berwisata. Sangat seru ketika kita menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan menikmati pemandangan. Wawasan semakin luas dan pikiran kembali segar untuk beraktivitas seperti biasa. Bila sudah lelah berjalan dan lapar menghadang maka saatnya mengisi perut dengan berbagai kuliner yang lezat.

Kalau anda berkunjung ke kota kelahiran saya misalnya, langsung saja Anda mampir di warung lodho ayam khas Trenggalek. Cita rasa lodo ayam yang pedas, dipadu dengan segarya urap-urap dan gurihnya nasi gurih dijamin mampu menuaskan  lidah Anda. Suasana makan akan lebih menyenagkan sambil menikmati indahnya pantai Pelang atau pantai Karanggongso yang menjadi salah satu tujuan wisata yang cukup diunggulkan di kota tersebut.


Nah, tulisan saya kali ini bukan membahas tentang kelezatan kuliner yang tersebar di berbagai lokasi pariwisata Indonesia. Saya akan menyoroti hal-hal yang sering luput dari perhatian padahal hal kecil tersebut berdampak besar. Sisi yang saya angkat kali ini adalah tentang warung kuliner sebagai sektor penunjang kenyamanan berwisata.  Inilah harapan saya demi kemajuan  pariwisata Indonesia: perbaikan kualitas warung kuliner untuk meningkatkan citra pariwisata.

Tidak lengkap rasanya jika menyudahi wisata tanpa menyantap berkuliner ria. Bila bukan kuliner khas, paling tidak warung makan biasa yang menjual makanan pengganjal lapar. Saya yakin kalau pengunjung pasti lapar usai jalan-jalan dan mereka pasti butuh makan. Bagaimana caranya? Tentu saja cari warung makan atau warung kuliner.


Namun, saya sering melihat pemandangan yang mengherankan. Bila kuliner menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lokasi wisata itu sendiri, mengapa banyak warung makan yang sepi bahkan gulung tikar?

Saya melakukan sedikit analisis tentang fenomena tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mundurnya warung kuliner di daerah wisata. Pertama, prinsip aji mumpung yang dipegang oleh para pedagang makanan. Aji mumpung yang seperti apa? Mumpung ada pengunjung mahalin aja harganya, toh duitnya banyak, toh juga ga balik lagi, toh ga ketemu lagi. Prinsip semacam ini benar-benar nggepuk (b.jawa: memukul) langsung dompet wisatawan dan menjadi akar bangkrutnya warung itu sendiri.

Saya sering menjumpai banyak warung kuliner di daerah wisata yang membanderol harga fantastis untuk sepiring menu sederhana. Tidak jarang harga makanan tidak dicantumkan pada daftar menu sehingga membuat pengunjung seakan membeli kucing dalam karung. Tidak tenang makan karena harap-harap cemas dengan total biaya makan yang dihabiskan. Bila ada warung yang memampangkan harganya, tidak menjamin pula itu sudah harga pasnya. Saya pernah menjumpai warung yang menjual lalapan tempe penyet dengan harga 10 ribu per porsi. Ternyata, harga tersebut belum termasuk nasi dan sayurannya. Setelah ditotal, harganya menjadi tidak wajar karena lalapan tempe (sudah pakai nasi) yang biasanya seharga 6-7 ribu menjadi 25 ribu (pakai nasi dan sayur). Meskipun wisatawan itu bawa duit banyak, tapi tetap terasa berat untuk menghabiskan 25 ribu demi sepiring lalapan tempe penyet. Tapi mau apa lagi, terlanjur makan ya harus bayar.

Ada pula peristiwa lain yang serupa dengan itu. Masih ingatkah dengan peristiwa ketika seorang pengguna facebook mengunggah kuitansi pembayaran usai makan di salah satu restoran di Anyer? Total biaya yang harus dibayar adalah 1 juta. Pada kuitansi tersebut tertera harga 2 porsi nasi putih sebesar 90 ribu rupiah. Alamak. Nasi apa seporsi 45 ribu? Apakah itu nasi sebanyak 4 kg? Saya jamin, orang itu pasti membelalakan matanya saat melihat kuitansi itu.

Peristiwa bon makan Anyer dapat dilihat di  sini.

Dampak kerugian pada warung kuliner tersebut memang tidak langsung terasa karena memang selalu selalu ada wisatawan yang terperosok atau terpaksa mampir ke warung-warung semacam itu. Namun, dampak terbesarnya adalah pada citra lokasi wisata dan masa depan warung kuliner itu sendiri. Lokasi wisata itu dicap kurang rekomended untuk dikunjungi karena ada banyak pelaku kuliner yang licik pada harga. Dengan perkembangan media sosial saat ini, sangat mudah untuk menyebarkan informasi semacam itu dalam hitungan detik. Pada kasus Anyer misalnya, sudah ada 2081 orang yang menshare. Jika tiap orang memiliki 500 orang teman, maka setidaknya ada 1 juta orang yang tahu peristiwa tersebut. Paling tidak ada 1 juta orang yang warning saat pergi ke Anyer dan bahkan tidak merekomendasikan Anyer debagai tujuan wisata yang nyaman.

Citra kurang rekomended itu akan menyebabkan turunnya minat pada lokasi wisata. Padahal mungkin lokasi wisatanya sangat indah. Akhirnya, warung kuliner di sana akan gulung tikar karena tidak ada pengunjung yang datang. Beginilah dampaknya. Sangat disayangkan ketika warung kuliner yang seharusnya menunjang lokasi wisata malah memperburuk citra lokasi tersebut.

Kedua, biaya operasional yang tidak terbilang murah sehingga berdampak pada kenaikan harga yang tidak sedikit. Dibalik para pelaku kuliner nakal, masih banyak pula pedagang yang baik hati dengan tetap menjual makanan dengan harga yang relatif wajar. Namun, tetap pula harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga di luar lokasi wisata. Hal tersebut disebabkan biaya operasional yang cukup banyak. Biaya tersebut mencakup biaya sewa warung, listrik, air, pegawai, dan lain-lain. Tingginya harga sewa memang tidak bisa dihindari karena lokasi wisata memang menjanjikan keuntungan dari banyaknya pengunjung yang datang. Dengan tanggungan biaya operasional yang demikian banyak maka tidak mengherankan kalau harga makanan menjadi naik.


Lantas, bagaimana agar sebuah warung kuliner bisa memperkuat citra sebuah lokasi wisata dan bukan melemahkannya? Saya memiliki beberapa solusi dan harapan.

Pertama, saya berharap ada sosialisasari pemerintah, khususnya kementerian pariwisata  untuk mengubah prinsip aji mumpung yang dipegang oleh para pelaku kuliner. Saya pikir, prinsip aji mumpung itu perlu dihapuskan dari benak para pedagang. Caranya adalah dengan sosialisasi. Siapa yang melakukannya? Pihak paling utama adalah pemerintah setempat yang bertanggung jawab mengelola lokasi wisata tersebut. Pemerintah perlu memberikan penjelasan menyeluruh terkait dampak prinsip tersebut pada citra pariwisata. Pemerintah perlu menekankan bahwa citra pariwisata yang rusak akibat warung-warung semacam itu sesungguhnya akan berdampak pada kelangsungan warung itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga bisa mengadakan sosialisasi tentang cara menentukan harga makanan yang barangkali belum dipahami oleh pemilik warung kuliner, khususnya kuliner tradisional. Seiring munculnya kesadaran untuk membuat harga yang realistis maka citra lokasi wisata tersebut akan semakin kuat dan bisa menjadi lokasi yang rekomended.

Tidak hanya pemerintah, kita juga bisa. Jika saudara kita ada yang berdagang dengan cara demikian, maka sebaiknya kita juga turut mengingatkan sesuai dengan kapasitas kita. Memang, sosialisasi akan lebih signifikan bila dilakukan oleh orang yang berwenang seperti pemerintah karena perubahan akan terjadi secara menyeluruh. Kasihan kalau ada satu dua warung yang baik tapi yang lainnya tidak. Warung baik itu akan tetap terkena imbasnya dan dialah yang paling rugi.

Kedua, saya berharap adanya kemudahan bagi para pelaku kuliner, khususnya penduduk setempat, untuk menyewa atau mendirikan warung di daerah wisata. Kemudahan tersebut penting dilakukan untuk memunculkan rasa memiliki pariwisata tersebut. Rasa itulah yang akan membuat mereka mau dan sekaligus turut andil dalam menjaga lokasi wisata untuk menarik dan mempertahankan pengunjung.

Ketiga, saya berharap adanya perhatian lebih dari pemerintah untuk memperbaiki kualitas sarana prasarana untuk warung kuliner di daerah wisata. Perbaikan ini sangat penting untuk memperbaiki kondisi warung kuliner khususnya di daerah terpencil. Saya pernah berkunjung ke beberapa lokasi wisata dan merasa prihatin dengan kondisi warung-warung kulinernya. Ada sebuah deretan warung di pinggir pantai yang hanya dibangun dengan kayu-kayu dekil dan ditutup dengan kain biasa. Tak hanya itu, tidak adanya akses air bersih yang memadai membuat penjualnya hanya mampu mencuci piring dengan cara mencelupkan peralatan makan itu ke dalam satu atau dua bak. Kondisi semacam itu tentu membuat saya enggan untuk mampir meski perut terasa sangat lapar. Saya merasa enggan untuk makan karena merasa jijik. Akhirnya, saya lebih memilih untuk membeli roti di toko daripada membeli makanan di warung itu. Oleh karena itu, kementerian pariwisata harus mengadakan perbaikan dengan cara memberikan dana bantuan pada penjual untuk memperbaiki warung mereka, mendirikan warung tenda atau warung kuliner terpusat untuk para penjual, membangun akses air bersih yang memadai, dan memberikan bantuan berupa peralatan makan. Dengan cara ini, pengunjung akan semakin nyaman untuk makan dan semakin mendukung kenyamanan berwisata.

Keempat, saya sangat berharap adanya peraturan tentang harga dan perlindungan hak konsumen dilokasi pariwisata. Meski menentukan harga adalah hak pedagang seutuhnya tapi menurut saya perlu adanya peraturan tentang itu. Peraturan tersebut dapat mengatasi pedagang licik, menindak mereka, dan melindungi konsumen dari harga-harga yang tidak realistis. Misalnya, harga makanan yang dijual tidak boleh 2x lipat harga produksi. Jadi, sepiring nasi yang dibuat dengan modal 5 ribu tidak akan dijual 45 ribu seperti yang terjadi pada peristiwa Anyer.

Beginilah harapan saya untuk perbaikan pariwisata Indonesia. Karena saya rakyat biasa dan hanyalah seorang pengamat maka yang saat ini bisa saya lakukan adalah terus berharap semoga kementerian pariwisata bisa mewujudkannya.

Memperbaiki pariwisata Indonesia bukan hanya bicara soal perbaikan hal-hal yang tampak di mata. Perbaikan sarana prasarana memang harus diutamakan, tapi hal-hal kecil juga patut menjadi perhatian. Kuliner dan lokasi wisata memang tidak terhubung secara langsung. Tidak seperti jalan rusak yang berpengaruh langsung pada ketercapaian lokasi wisata. Tidak pula seperti website pariwisata yang menginformasikan secara detail lokasi wisata tersebut. Keberadaan kuliner adalah pelengkap yang memberikan kenyamanan pada pengunjung untuk menikmasi wisatanya. Tidak ada kendaraan, kita masih bisa berjalan. Tidak ada penginapan, kita masih bisa mendirikan tenda. Tidak ada warung kuliner, kita memang bisa menanak makanan. Namun menanak sendiri tidak lebih enak jika kita bisa memesan makanan dengan nyaman dan menikmati kelezatannya sambil nonton pemandangan tanpa harus ribet dan bekerja keras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun