Mohon tunggu...
Beni Sutanto
Beni Sutanto Mohon Tunggu... Relawan - Tertarik pada sejarah,sastra,seni dan budaya. Belajar mengalami dan belajar menulis

Tidak banyak cerita tentang saya, kalau hidup hanya sekali sudah itu mati maka saya memilih hidup tidak hanya sebagai satu orang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sadranan Cepogo, Tradisi di Tengah Pandemi

28 Maret 2020   22:26 Diperbarui: 29 Maret 2020   00:16 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Nyadran atau Sadranan di salah satu kampung di Desa Wonodoyo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali

Dampak dari Pademi Covid-19 di Indonesia telah menyasar ke berbagai sendi kehidupan salah satunya  aspek budaya, imbasnya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat perkotaan saja, namun telah merangsek ke masyarakat pedesaan. Dampak langsung dirasakan oleh masyarakat pedesaan di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali yang mana untuk kali pertama tradisi Sadranan tahun ini akan terasa sangat berbeda.

Hal ini menindaklanjuti  himbauan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia, tentang social/physical distancing dan pembatasan kerumunan atau kegiatan warga yang menimbulkan keramaian, guna memutus rantai peneyebaran virus Covid-19.

Setelah diadakan rapat antara  Kepala Desa se-Kecamatan Cepogo dengan Pemerintah Kecamatan Cepogo, akhirnya tercapai kesepakatan yaitu pembatalan event Grebek Sadranan dan peniadaan acara terima tamu di rumah warga, yang kemudian diteruskan melalui musyawarah di desa masing-masing yang melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat dan pihak terkait seperti Dinas Kesehatan dan Kepolisian. 

Event Grebek Sadranan yang masuk tahun kedua pada tahun ini dan sedianya akan dilaksanakan pada 4 April 2020 terpaksa dibatalkan. 

Kemudian untuk tradisi adat Nyadran, masyarakat dipersilahkan untuk tetap menjalankan tradisi dengan tetap mengutamakan aspek kesehatan dan menjaga jarak antara satu orang dengan yang lainnya.

Masyarakat diminta hanya melakukan acara bersih makam dan sedekah kenduri di makam, tanpa menyelenggarakan acara open house atau mengundang tamu dari luar daerah seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Beberapa desa yang akan terdampak kebijakan ini antara lain Sukabumi,Sumbung, Gedangan dan Wonodoyo.

Tradisi Nyadran atau Sadranan di salah satu kampung di Desa Wonodoyo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali
Tradisi Nyadran atau Sadranan di salah satu kampung di Desa Wonodoyo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali
Tradisi Sadranan di Cepogo diselenggarakan  setiap  satu bulan sebelum bulan puasa yaitu pada bulan  Ruwah (Kalender Jawa) atau Sya’ban (Kalender Hiriyah) di mulai pada tanggal 12 Ruwah hingga sepekan sebelum bulan Ramadhan dan dilaksanakan satu hari pada tanggal yang berbeda-beda untuk masing-masing daerah. 

Prosesi Nyadran terdiri dari beberapa rangkaian ritual antara lain kenduri di rumah, bersih makam, hingga puncaknya yaitu kenduri ageng / sedekah secara masal di pemakaman. 

Keseluruhan kegiatan mengandung filosofi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan leluhur dan manusia dengan Tuhan yang juga mewakili tiga aspek kehidupan yaitu  sosial, budaya dan agama.

Tradisi Sadranan Cepogo sendiri bisa dikatakan sejajar dengan hari raya lainnya kendati tidak ada dalam kalender nasional, dilihat dari antusiasme pengunjung yang bertambah setiap tahunnya, belakangan ini Sadranan Cepogo mendapatkan perhatian dari masyarakat dari kota-kota besar seperti Solo, Jogja dan Semarang.

Tradisi Nyadran atau Sadranan di salah satu kampung di Desa Wonodoyo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali
Tradisi Nyadran atau Sadranan di salah satu kampung di Desa Wonodoyo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali
Sadran atau Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat Jawa meyakini bulan Ruwah adalah salah satu bulan yang paling sakral dimana pada bulan ini dipercayai adalah bulannya para leluhur atau bulanynya para Arwah.  

Masyarakat Jawa umumnya menggunakan momentum bulan ini untuk mengirimkan doa kepada para leluhur ataupun sanak saudara yang telah meninggal agar diampuni segala dosanya dan diangkat derajatnya, setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda dalam pelaksanaanya. 

Bulan Ruwah sekaligus digunakan untuk berintrospeksi diri meyambut bulan Ramadhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun