Sunik  pulang terlambat lagi, ibu sempat khawatir terjadi apa-apa dengannya karena tidak ada kabar. Sampai di rumah segera meminta maaf dan menjelaskan bahwa akan ada visitasi di sekolahnya, jadi semua warga sekolah dilibatkan untuk menyiapkan segala sesuatu yang wajib ada sarana dan prasarananya harus memenuhi syarat yang sudah ditentukan BANSM.
"Wah, pasti kerja keras ya, agar sekolahnhya dapat nilai yang memuaskan." Ibu menimpali sambil senyum menggoda.
"Kenapa, Bu? Kok senyum sesuatu begitu?"
"Iya, biasanya saat mau dikunjungi, disidak, oleh assesor semua dipercantik, semua diadakan, fisik sekolah diperbaiki dari ruang kelas sampai kamar mandi, mutu pengajar dan kurikulum serta perencanaan disiapkan rapi. Setelah mendapat nilai bagaimana selanjutnya?" Ibu berkata sambil matanya menahan tawa.
Sunik hanya menggidikkan bahu tanda tak tahu. "Memang ada yang begitu, Bu?"
"Ada,pasti ada. Hanya sekolah yang mempunyai tanggung jawab tinggi dan amanah yang akan selalu memegang nilai prestasinya dari akreditasi bukan hanya saat penilaian saja."
Sunik yang tadinya semangat bahwa sekolahnya akan menjadi lebih baik, tiba-tiba menjadi ragu. Pikirannya bertanya apakah nanti sekolahnya akan maju setelah dinilai atau entah.Â
Ia merasa itu bukan urusannya, urusannya hanya belajar dan mendapat nilai terbaik. Tapi diingat-ingat,benar juga kata ibunya. Harusnya sekolah yang mendapat nilai bagus segala sesuatunya juga harus bagus dan terus menunjukkan kualitas terbaiknya. Sungguh disayangkan bila itu memang ada.Â
Sunik keluar dari kamarnya menghampiri ibunya yang sedang membuat dadar telor. "Bu, bagaimana dengan nilaiku di raport sisipan kemarin? Tidak diperbaiki kah?"
"Entahlah, ibu sudah berusaha menyampaikan dan meminta untuk diganti yang sesuai, tapi jawaban kurang memuaskan dan lucu menurut ibu. Itulah yang ibu katakan, kompetensi dari pendidik dan tenaga kependidikannya harus ditingkatkan agar tidak ada yang dirugikan, bila ada kesalahan cetak ya harus segera diperbaiki."
Ibu memandang Sunik dan tersenyum, merasa iba melihat anaknya yang rajin mendapat raport sisipan yang tidak sesuai kenyataan.Â
"Bu, aku boleh cerita?"
"Boleh, apa itu?"
"Aku harus rajin mengejar nilai yang bagus atau biasa saja dalam belajar?"
"Harus maximal sesuai kemampuanmu." Ibu segera menjawab cepat pertanyaan Sunik
"Tapi, tadi ada guru yang mengatakan kalau aku takut kalah saingan di depan guru-guru lainnya."
"Oh ya? Wah kenapa begitu ya? Nanti ibu coba telpon beliau."
"Jangan Bu,aku takut nanti malah ada apa-apa denganku, tidak nyaman bila dikucilkan guru."
"Ah iya, itu masih sering terjadi di negeri ini ya, sayang sekali. Tapi tidak boleh seperti itu, negara di luar sana makin maju karena pola pikir yang maju bukan mundur, oke?"
Sunik hanya mengangguk, pikirannya berkecamuk.
"Jangan takut, ibu tidak akan marah-marah atau mencak-mencak kok, hanya mengingatkan bila hal seperti itu tidak layak dikatakan meski alasannya bergurau."
Sunik mengangguk lagi dan permisi untuk mandi karena  senja sebentar lagi pergi.
Ibu menatap punggung Sunik, kekhawatiran paling besar di hati ibu bila anak-anaknya tak nyaman dan tidak siap mental di lingkungan baru. Segala yang terjadi hari ini adalah pelajaran dan penentu untuk langkah selanjutnya.
*****
February 2023
______________
Cerita ini hanya fiksi semata, bila ada kesamaan peristiwa itu hanya kebetulan semataÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H