Mohon tunggu...
Swarna
Swarna Mohon Tunggu... Lainnya - mengetik 😊

🌾Mantra Terindah🌿

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja yang Merdeka

17 Agustus 2022   08:18 Diperbarui: 17 Agustus 2022   08:20 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Men, tiarap!"

Suara berdebam-debum dari mulut Tugino, ia pun merayap seperti buaya menuju arah Tamen, temannya.

"Waduh, kamu terluka, PMI, cepat ke sini!"

Beberapa gadis cilik membawa kotak obat dan tandu segera datang. Mereka mengangkat Tamen lalu membawa ke semak-semak.

"Wadow! Tolong! Ulat bulu!" tamen dan gadis-gadis kecil lari berhamburan ke arah Tugino, pekik merdeka dari mulut Tugino tak mereka hiraukan. Semua mengibas-ngibaskan telapak tangan pada bajunya.

"Ada apa?" Tugino merasa ada yang aneh pada teman-temannya

"Ulat bulu No, buanyak di semak-semak sana, hiiii, ngeri."

"Apa?" Tanpa ba bi bu ia pun lari terbirit-birit

Tamen dan lainnya hanya bengong, lalu tertawa sambil berteriak, merdeka kepada Tugino.

"No, merdeka, No. Kenapa kamu lari, cuma ulat bulu, hahaha."

Mereka akhirnya mengejar Tarno yang ketakutan sambil terbahak-bahak.

Kenangan masa kecil mereka bermain perang-perangan sangat tajam dalam ingatan. Karena saat itu juga masih banyak serdadu di desa mereka yang belum beranjak pergi. Entah karena sudah hilang rasa takutnya atau sudah terbiasa saja. Anak-anak kecil tetap ingin bermain tanpa dikekang rasa takut.

Tamen menyesap kopinya sambil terkekeh mengingat puluhan tahun silam di masa penjajahan. 

"Sekarang menurutmu bagaiman, No?"

"Kata anak zaman sekarang B aja, generasi Z kata mereka tinggal membangun dan mempertahankan, terus mengisi dengan bijak, dan mengankat tangan menghormat bendera merah putih, masak gak bisa sih?" Tugino masih ingat betul betapa dulu sebenarnya hati selalu dalam rasa was-was. Belanda belum pergi, eh Jepang datang mau obok-obok bumi pertiwi, mana lebih keji lagi.

Semua serba terbatas, belajar dibatasi, kerja dibatasi, makan dibatasi, melirik saja juga dibatasi, zaman susah, super susah. Kalau sampai sekarang tinggal menikmati, mengisi, dan mempertahankan saja tidak bisa, ya eman-eman. Harus diingat bagaimana gigihnya para pahlawan waktu itu. 

"Aku yakin, No generasi sekarang bisa menjadi tonggak untuk mengisi kemerdekaan, yakin aku. Hla wong  mengisi kemerdekaan bisa sambil rebahan saja loh."  ucapan Tamen membuat Tugino menatap jauh ke depan dan menerawang lalu tersenyum tanpa suara.

Tugino pun menjawab, "Ya, eman kalau sampai terlena. Manusia hidup itu harus banyak gunanya, banyak manfaatnya. Semoga sambil leyehan bisa mewujudkan cita-citanya." tertawa mereka sedikit ditahan sampai terdengar bunyi ngik-ngik dan terbatuk-batuk.

"iya, jadi generasi kuat itu tidak boleh cemen, terus kalau jadi bos juga tidak boleh seenaknya pada anak buah. Menghadapi masalah atau ketahuan salah kok nyari kambing hitam, itu kan cemen," Tamen lagi-lagi menimpali, sekarang wajahnya mulai serius.

"Ya, bisa mlempem negara ini bila para cemen-cemen duduk manis sebagai penguasa. Lalu merdeka macam mana?" Pembicaraan makin seru bahkan kadang diselingi sedikit perbedaan pendapat, membicarakan kejadian-kejadian ganjil yang sedang hangat dibicarakan saat ini, juga tentang para penyuka duit yang mengeruk kelayaan ibu pertiwi demi keuntungan pribadi.

"Kang Pendik dan Sambodo bagaimana ya kabarnya?" Tamen mengalihkan pembicaraan dengan mengajak Tugino mengingat sahabatnya yang katut terbawa tentara Belanda ke Suriname.

"Paling sudah jadi mentri di sana hehehe." Tugino menjawab asal-asalan, mereka berdua terkekeh lagi.

"Semoga saja sukses." sambung Tugino lagi.

Beberapa rakyat Indonesia kala itu memang dibawa Belanda ke Suriname sebagai pekerja paksa di sana.  Di Indonesia penjajah memaksa penduduk asli melakukan kerja Rodi belum lagi Jepang melakukan Romusa pada rakyat Indonesia.

Mereka berdua begitu asik kembali mengingat 77 tahun lalu di mana para pejuang dengan segala tenaga,  pikiran dan hartanya berusaha terbebas dari tirani dan merebut kemerdekaan.

Sekarang walau sudah merdeka, sejarah masih tersimpan dan selama belum pikun takkan terlupa.

"Men, apa yang seru ceritanu ketika itu?" Tugino kembali melinting rokok kelobotnya, menekan-nekan agar padat dan rapi lalu menyulut, dan menghisap dalam, asap mengepul memenuhi wajahnya yang mulai menua.

"Hahaha, ketika semua ketakutan, baik itu anak kecil maupun orang dewasa takut ada peluru nyasar atau bom jatuh, aku malah keluyuran mencari mur sama baut bekas atau apalah benda-benda kecil berbahan besi. Soalnya bagiku itu barang antik yang baru kulihat. Aku kira benda langit, kalau kamu?"

"Naik cikar sehari semalam, melarikan diri dari rumah. Padahal kalau sekarang ditempuh pakai motor tidak sampai 2 jam hehehe." Mereka berdua terkekeh lagi memperlihatkan giginya yang mulai ompong. 

Saat penjajahan terjadi dua sahabat yang sudah pada keriput itu memang masih kanak-kanak. Mereka hanya bisa ikut berlari mengungsi kesana -kemari. Bahkan melihat langsung serdadu yang terkapar atau pejuang yang gugur demi mempertahankan tanah air.

"No,apa kamu masih ingat Pak Bondet yang ternyata kongkalikong sama penjajah saat itu?"

"Oh, orang kaya yang bisa jadi pejabat tapi juga bisa khianat itu to? Wong warganya dijual ke penjajah kok, bukannya membela dan melindungi."

"Ya, begitulah, pasti ada yang berjuang dan ada yang berkhianat, di setiap negara pasti ada."

Pembicaraan nostalgia mereka sepertinya makin asik, setiap menjelang hari ulang tahun kemerdekaan mereka akan ngobrol saling bercerita dan mengulang kisah masa perjuangan para pahlawan merebut kebebasan tanah air dari kolonial. Kala itu mereka juga menyaksikan perang melawan penjajah.

Dari pandangan Tamen ia berpendapat bahwa penjajah harus dihadapi bila ingin benar-benar merdeka bukan lari dan sembunyi seperti anak-anak yang takut pada ulat bulu. Merdeka juga bukan berarti kebablasan yang malah akan membangun kerusakan atau kerugian orang lain, apalagi sampai menzalimi negeri ini.

"Men, sekarang apa-apa harus merdeka ya? Yang merdeka belajar, merdeka berkarya, semua minta dimerdekakan ini terus bagaimana? Mumet aku, hla istriku minta merdeka belanja loh, mateng aku."

Tamen hanya tergelak, lalu mengatakan bahwa ia pernah bergurau seolah meramal ketika masih remaja, kalau sudah merdeka nanti pasti ada yang kebablasan, apa-apa minta merdeka juga, termasuk merdeka menguasai isi dompet. 

"Hla iya Men, wong merdeka itu harusnya tidak ada beban to? Kalau masih ada rasa mengganjal ya bukan merdeka namanya."

"Hahaha, jangan khawatir kita ini sebentar lagi merdeka, No."  suara Tamen menahan tawa sampe serak."Kita wajib bersyukur masih diberi panjang umur untuk menjadi saksi pergantian zaman yang semakin berkembang dan maju."

"Sudahlah, kopiku sudah habis, itu mbahnya cucu-cucu nanti keburu nyusul ke sini, iya kamu enak sudah merdeka." Tugino pun pamit pulang, sebelum berlalu mereka berjanji tanggal 17 Agustus nanti akan menghormat bendera berdua di halaman rumah Tamen.

Pagi ini, mereka mengangkat kepala,memandang bendera yang berkibar gagah, ditemani hangatnya mentari pagi yang menyelinap dari balik pepohonan dan aroma melati yang menyegarkan. Merah putih adalah cinta yang tak pernah putus bagi negeri.

Agustus, 17 2022
Swarnahati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun