"Apa kabar, Tuan?"
Aku mencoba membuka percakapan denganmu
"Ini bait-bait puisimu yang taksengaja tersimpan di dokumenku. Dan kutemukan ketika aku sedang berjalan-jalan di sana."
Beberapa menit kemudian kau menjawab dengan penuh kelakar, lalu menambahkan beberapa bait di akhir puisi.
Sebuah puisi lama yang tidak bisa kau jumpai lagi dalam laci catatanmu karena laci itu telah terkunci rapat. Mungkin kuncinya sudah dimakan kala. Hingga takbisa lagi terbuka.
Sayang sekali bukan? Semoga saja kutu-kutu tak membinasakan, atau berkarat seiring berjalannya waktu
Ini puisi Tuan, kupasang pada dinding sebuah ruangan, mungkin nanti ada yang ingin singgah dan membacanya.
Pemanggul Kopi di Etalase
Hujan pagi ini menyambut hari, di mana aku masih terjebak dalam kerinduan yang tiada tahu untuk siapa, namun kaki harus tetap kujejakkan pada bumi. Meski petir mengiringi, menggeliat memecah detak di dada, aku harus terus berjalan, tugasku masih berlapis-lapis.Â
Belum jua terkikis saat kupandangi tukang becak menggigil di trotoar jalan menanti mentari datang menghangatkan menunggu penumpang, mengantar ke tujuan, menerima lembaran kusut sisa sebagai imbalan, itulah harapan berebut perhatian dengan anak jalanan yang berbasah kuyup menawarkan payung tertangkup.Â