Kepada Pagi yang Sunyi
Pagi ini mataku terlambat untuk terbuka
Kulihat jarum jam di dindung menunjuk angka lima
aku berusaha menyadarkan diri dan lelap semalam
berusaha mengingat tentang sebuah hari
Di halaman takada suara gesekan sapu. Bukan tersebab tanah lembab. Guguran daun-daun kering. Rumput-rumput sudah dua minggu tak disiangi
"Ke mana Ibu yang setiap pagi di halaman ini?" seseorang bertanya. Suara itu tak berjawab. Angin pun takingin bercerita tentang sebab, tentang lingkaran mata masih terlihat sembab
Pintu masih tertutup. Suara-suara: denting piring yang dicuci, desis air yang dimasak; ke mana? "Hey, salat Subuhmu kembali dipanggang matahari!" Suara pengingat itu pun takada
Kemanakah?
aku beringsut menatap pekarangan dari jendela
masih kuingat suara yang kerap kali memanggil namaku
lalu mengajak bercerita sepanjang waktu
Kini tak kutemui, ada yang hilang dalam hariku
Duduk membisu
Hanya memegangi gelas berisi teh panas dengan kedua telapak tanganku
sesekali memejamkan mata dan melukiskan dirimu ada di hadapanku
dan kuceritakan lagi tentang kisah yang kulalui tanpa hangatmu bersama untaian embun yang mulai luruh
Beranda kehilangan, 25122020
Puisi Ayah Tuah dan Swarna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H