Ketika aku kecil, buanyaak kisah yang berkesan bagiku, yang sering aku ceritakan pada anak-anakku, membuat mereka selalu ingin mendengar ceritaku. Waktu kecil aku paling suka bicara sendiri, ngobrol sendiri lalu bercermin. Didepan cermin aku beraksi, menyanyi bak penyanyi ternama, menari-nari tanpa malu. Tahu kah jaman dulu hanya ada tivi nasional saja? Aku menirukan gaya artis-artis di sana, untung masa kecilku hanya ada tivi nasional itu.
Mengaduk aduk lemari ibuku pasti kulakukan, menjajal satu persatu nanu ibuku yang panjang, lalu memakainya, bernyanyi-nyanyi sambil lari-lari di halaman yang berumput, seolah-olah menjadi artis, ha ha ha, lagu yang sering aku nyanyikan lagunya Maya Rumantir, Jayanti Mandasari, Ira Maya Sofa.
Yang membuat aku masih suka heran sendiri ketika ingat waktu kecil adalah, bertandang ke rumah saudara saat lebaran, beliau paman dari bapakku, aku memanggilnya embah, embah ini mengasuh cucunya yang cakep imut kiyut kiyut. Dia tertegun saat melihat aku bernyanyi-nyanyi di depan cermin lemari, bukan takjub tapi merasa aneh saja mungkin melihatku tak malu bermain cermin. Ih untung anakku tak ada yang sepertiku, hi hi hi
"Hla ini dah Aliz, dimana ada cermin disitu mulai beraksi, jangan kaget." kata budeku pada sepupuh yang kiyut tadi
"He he kenapa gitu bude?" Tanya dia sambil senyum senyum melihatku
"Mungkin pingin jadi artis." aku mendengar saja percakapan mereka, sambil terus bergaya menyanyi.
Pernah suatu hari aku menemukan alat kecantikan ibuku, mulai jahil tanganku, aku corat coret wajahku, gincu merah aku poles setebalnya, sepatu tinggi ibu kupakai, dan beraksi lagi di depan cermin. Saat bernyanyi melenggak lenggok, kakakku yang sulung menegurku, dia cowok sendiri, "Eh apa-apaan itu! hapus! hapus! kalau tak dihapus aku hapus pake serbet!"
Iissshh aku lari sambil panggil ibuk mencari perlindungan, sudah teriak emmoh emmoh dah, ibuk cuma senyam senyum loh, alamaakkk. Aksi pertama kakak yang mau hapus make up di wajahku masih bisa aku hindari, aku lari sampe naik kursi, eh aksi kedua aku lengah, kukira dia sudah pergi ternyata menunggu saat aku nyanyi-nyanyi lagi dan sreeettt tak bisa lari. Bener saja itu serbet makan dilapkan ke bibirku yang bergincu ha ha ha, asseemmm.
Sakitkan mana serbetnya kasar bau kompor lagi wkwkwkwk. Meweklah aku, hla semua kakakku pada ngakak melihat aku mewek, hadeeuuuhhh. Tapi semakin bertumbuh aku malah jauh dari keperempuanan, malas pake bedak, tak bisa bersolek pula dan terkesan badung, satu lagi judes sama teman laki-laki, sampai sekarang diingat sama temanku, alamaakkk.
Bila kakak sulung lagi betulkan lampu atau pasang kabel pasti aku yang diminta bantuin. Jadinya gak canggung saat gede pegang kabel betulkan yang putus atau lepas.
Kisah lainnya lagi waktu kecil, bapakku memelihara kelinci anggora, dari tiga kelinci menjadi dua puluh lima, paling senang mencari rumput di sawah, siapa yang gak suka sawah jaman dulu, kalau sudah merumput sambil main main lah. Pagi sebelum berangkat sekolah cari rumput dulu di sawah belakang rumah, dan rumputnya khusus, seperti kangkung bentuknya, istilah kami menyebutnya sumpel wuwu, setelah mencari rumput dapat sekeranjang pulang dan siap berangkat sekolah, bila sore hari aku mencari rumput lagi, tapi bila di sawah sudah sepi, merinding juga, aku bisa lari kencang menuju rumah, ha ha penakut gaes.
Bergantian aku dan kakak perempuanku mencari rumput, "mbak,ada peswat itu lagi terbang rendah."
"Pingin naik pesawat?"
"Iya, kita minta uang yok."
"Pesawaattt, minta uaannngg!"Â
Teriakan yang tak terjadi pada anak-anak jaman sekarang, hanya ada di jaman sejarah waktu kita kecil. Sawah dan sungai adalah tempat kami anak desa bersuka ria. Kecemplung di sawah mandi di sungai adalah rutinitas kami, bila musim hujan tak ingin melewatkan air gratis dari langit, hujan-hujan mengasyikkan tak perduli petir menggelegar.
________
Ibu juga memelihara angsa, serunya memberi makan angsa-angsa ini, pagi dan sore. Dari sepasang bisa jadi 20 ekor, Â ketika kelinci yang buanyak tadi habis, tinggal seekor berwarna hitam legam dan kami beri nama Beny dari segenggam hingga besar, dia berteman dengan anak angsa yang kami beri nama Thithi hihihi dari Thithi ini angsa bertambah banyak dan berakhir dicolong maling semua. Jengkel aku. Kami bukan orang kaya yang mentereng tapi rumah selalu disatroni maling. Cuma titipan ya.
Kini kami sudah sibuk mengurus anak, jangankan memelihara angsa atau kelinci, kucing saja tak sempat, nanti kasihan tak terurus, karena tempat tinggal sekarang tak seluas di desa, tak ada halaman dan pekarangannya, he he masa kecil penuh kenangan konyol, dan manis. Meski tontonan kami hanya si Unyil dan Little house on the Prairie.
Malang, 07 Juli 2019
swarnahati
#ketikaakukecil
#fc
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H