Mohon tunggu...
Swarna
Swarna Mohon Tunggu... Lainnya - mengetik 😊

🌾Mantra Terindah🌿

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pinangan

9 April 2019   14:55 Diperbarui: 9 April 2019   16:38 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya Allah semoga kau tenangkan hati ini, tak mampu hamba menghadapi rasa hati ini, lebih baik dihadapkan pada ulat bulu."
Yora mendengus lagi sambil memutar mutar ponselnya, menyalakan lalu menggulir semua kiriman pesan, tak ada satupun dari pujaannya. Kesalpun datang mendera. Diseretnya kaki yang berat berjalan menuju teras rumah.
Teras yang asri banyak pohon buah di halaman yang tidak terlalu tinggi. Sehingga saat berbuah tinggal memanjat sedikit bahkan bisa langsung petik.

"Assalamualaikum mbak Yora." Gadis manis anak bungsu pak Lurah menyapanya saat lewat.
"Waalaikumsalam," senyum sedikit dipaksakan melihat Arlina lewat dan menyapa. "Mau mampir kah?" Tanya Yora saat melihat Arlina hanya berdiri di depan pagar.
"Boleh kah mbak?" Sekali lagi senyum manisnya dipamerkan.
"Silahkan, darimana?" Setelah membukakan pagar mereka berdua duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga.

"Dari taklim, mbak Yora gak hadir tadi. Yang mengisi ustad Ropingi." Arlina menjelaskan
"Terus?" Eh kethus kali Yora bertanya pada Arlina
"Materinya bagus, tentang 'menjaga diri dari perkembangan jaman' minggu depan aku jemput ya, tadi pada nyari. Mbak sakit?
"Nggak, lagi males saja, mager."

"Magerin apa mbak?" Arlina mulai menggoda Yora
"Magerin hati yak biar aman." Sambil masih manyun-manyun mulutnya.
"Lha kalo dipagerin ntar yang mau masuk gak bisa mbak."
"Gak papa, tidak untuk dimasuki sembarangan." Yora menjawab sambil asik lagi dengan ponselnya yang dari tadi bergetar getar menunjukkan notifikasi masuk.

"Yaudah mbak saya balik pulang dulu ya semoga segera gak mager lagi ya, oh ya tadi dapat salam dari Kak Julak."
"Tidak terima salam, saya balikin." Waow Yora sedang keluar tanduknya rupanya.
"He he baik mbak nanti saya balikin dah, assalamualaikum." Arlinapun pamit dan berlalu dari rumah Yora.
"Apaan ada ponsel kog nitip salam segala, gak bisa apa langsung chat. Hmmhhh, gak peka ditunggui kabar dari jaman alif juga." Yora menggerutu sepanjang rumahnya sampai terdengar sekilas oleh ibunya.

"Yora, ada apa nak? Apa ibu sudah bikin kesal?" Sambil masih memandang majalah ibu Yora menegur.
Segera Yora duduk di sebelah ibunya dan menyandarkan kepala pada sandaran.
"Bu, apa Yora salah bila terlalu berharap?"
"Hmmm ada apa anak ibu ini?

"Ada rasa sebel dan kezel bu."
"Bisa cerita? Mumpung ibu lagi longgar ya, buat Yora ibu siap dengar." Majalah yang tadi dibacapun segera ditutup dan memperhatikan putrinya.
"Bu apa Yora sudah boleh menikah?"
"Boleh, sudah tahu kan bagaimana berumah tangga itu?" Yora mengangguk.

"Siapa yang beruntung mendapat cinta Yora?" Ibu bertanya hati-hati takut menyinggung  hati anaknya yang sensitif sekali.
"Kak Julak bu, dia mau meminang Yora."
"Hmmm Julak ya? Anak Pak Ustad Ropingi yang manis itu." Ibu Yora mengulur obrolan sambil manggut manggut.
"Yang manis siapa bu? Kak Julak apa Ustad? Isshhh ibu suka ya?" Yora ketawa geli

"Suka, namanya anak Ustad pasti baik kan? Tapi apa Yora belum dengar kabar kalau ..." ibu Yora menggantung pembicaraan dan memandang lekat ke arah Yora yang masih saja menunduk tumakninah ke arah ponselnya.
Tidak mendengar suara ibunya melanjutkan pembicaraan Yorapun menoleh,"Kalau apa bu?"
"Julak sudah dijodohkan sama anak pertama Pak Lurah Zaldy, si Annisa."

"Ibu ada cerita dari mana? Ibu tidak berbohong kan?"
"Kenapa ibu harus berbohong nak." Digenggamnya tangan Yora, yang dingin menahan emosi dan gelisah, matanya mulai mengembun.
"Sumbernya dari ustad sendiri. Beliau yang bercerita pada Ayahmu, bila akan punya gawe melamar Annisa."

"Astaghfirullah, kak Julak tega sekali, terus mengapa juga tadi nitip salam segala ke Arlina buat Yora, juga selama ini chating berbaik-baik untuk apa?" Air mata sudah tak terbendung lagi meski tanpa suara meraung-raung.
"Sudah sayang, ini pelajaran untukmu ya, jangan terpedaya semua ucapan dan perhatian laki-laki, jangan salah pula tegur sapanya yang menarik." Turut bersedih hati jua ibu Yora melihat putrinya terluka. Dia jadi kembali mengingat kisah cintanya yang terabaikan sebelum bertemu ayah Yora.
"Sini nak, lihat ibu, kamu tidak lebih buruk dari siapapun, Yora harus percaya akan ada yang lebih baik untuk Yora ya, janji jangan bersedih lagi." Dengan masih sesenggukan Yora mengangguk mengiyakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun