“Bu, Tuhantidak menakdirkan wanita pesisir, selamanya tinggal di pesisir! Tidak ada kewajiban yang mengharuskan wanita pesisir, mesti menikah dengan lelaki pesisir, bu. Aku tidak mau menikah dengan lelaki pesisir, bu! Dan, pria pesisir tidak ditakdirkan untuk harus menjadi pelaut. Aku benci pelauuut! Aku benci lauuut, buuu!”
Prasasti membanting kerang-kerang ke dalam ember. Melihat reaksi yang ditampakkan putrinya, Atika menghardik dengan suara cukup keras.
“Cukuuup Prasasti! Jangan pernah kau menghina wanita dan pria yang lahir di pesisir ini! Kami ditakdirkan lahir di pesisir untuk beranakpinak dan menjaga lautan ini! Kami lahir dari leluhur yang tangguh, pantang menyerah dan selalu menepati janji! Kalau bapakmu di sini, kaubisa kuliah, Prasasti!”
“Aku tidak mau menjadi wanita pengutil kerang setiap hari, bu. Sementara suaminya entah berada di mana! Dan, jangan sebut bapak lagi, bu! Jika bapak keturunan leluhur pesisir yang senantiasa menepati janji, mengapa ia belum kembali sampai kini aku berusia 19 tahun, ibuuu?!”
Prasasti mulai terisak.
“Mengapa bapak tidak di sini sekarang, buuu?! Sebab bapak pelaut, maka laut telah menelannya, buuu! Aku benci pelauuuut! Aku benci lauuut, buuu!”
Prasasti berlari meninggalkan ibunya sambil berurai airmata.
“Prasasti, tungguuu! Satu hal yang harus kauingat, bahwa laut ini telah menghidupi kita, Prasastiii! Bahkan semua manusia di daratan sana, telah hidup dari hasil laut iniii! Laut ini saksi dari pernikahan kami, saksi dari kelahiranmu, Prasastiii! Bapakmu pergi lewat laut ini, maka kelak ia akan kembali menyandarkan kapalnya di dermaga lauuut iniii, naaaak! Bapakmu akan kembaliii! Bapakmu akan kembaliiii!”
Usai bercerita, Prasasti memalingkan wajahnya ke luar jendela mobil. Kemudian berpaling ke arah Bahari yang sedang mengemudi.
“Begitulah ceritanya, mas Bahari. Ibuku terus berteriak, sampai telingaku tak mampu lagi menangkap suaranya. Okh, aku sangat merindukan ibu, mas! Ibuku memang wanita yang tanggu! Ibuku memosisikan dirinya seperti pantai yang tak mungkin terpisah dari lautan.”
“Ibumu benar-benar seorang dewi, Prasasti. Aku mendambakan wanita sehebat ibumu. Dan, a, a, aku, hm, maksudku, aku ingin.., okh!” Ucap Bahari tergagap.
“Hai, kenapa mas tampak sangat gugup?” Tanya Prasasti.