“Aduuuh, dadakuuu! Jaaar, Jarwooo! Ukh, aduuuuuh, Jarwoooo, sakiiit Wooo!”
Jarwo mendekati tuannya, lalu segera memanggil dokter.
Kendaraan Bahari dan Prasasti masih melaju dengan kecepatan sedang menuju kota Sumenep. Berdua Prasasti di atas mobil, tentu kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh Bahari. Ia ingin memanfaatkan momentum indah itu untuk mengutarakan isi hati dan menyampaikan pesan bapaknya kepada Prasasti. Tetapi sebelum ke tujuan utama, Bahari sengaja memancing pembicaraan dengan topic lain. Mungkin itulah cara Bahari meredam kegugupannya di depan Prasasti.
“Oh, jadi setamat SMA kau pernah berniat kuliah, Prasasti? Lalu kenapa batal?” Tanya Bahari.
“Waktu itu, aku menemui ibu yang sedang mencari kerang di pantai, mas. Begini ceritanya..,”
Prasasti mulai bertutur panjang lebar, sampai ke prihal perdebatannya dengan sang ibu ketika ia minta izin untuk kuliah waktu itu.
“Bagaimana kauingin kuliah, Prasasti? Tamat SMA saja kau pantas bersyukur. Di pesisir ini jarang gadis yang bisa sekolah sepertimu, nak! Gadis-gadis pesisir cukup membantu orangtuanya sambil menanti jodoh mereka datang!” Kata ibunya.
“Jangan samakan aku dengan gadis pesisir lain, bu! Aku ingin di pesisir terpencil ini ada seorang sarjana, agar..” Ucap Prasasti menggantung, sebab kalimatnya langsung di potong oleh Atika ibunya.
“Agar pesisir ini maju maksudmu, Prasasti?! Kalau kauingin memajukannya, berdayakan gadis-gadis pesisir ini dengan bekalmu di SMA itu, nak. Ajar mereka membaca, menulis, menjahit, merangkai bunga, agar bisa mandiri dan kelak bisa menjadi isteri yang..,”
Kini berbalik, Prasasti yang memotong kalimat ibunya dengan sedikit ketus.
“Agar mereka kelak bisa menjadi isteri yang tangguh seperti ibu?! Itukah, maksudmu, bu? Pantas wanita-wanita di sini begitu mudah dibodohi! Wajar di pesisir ini banyak wanita yang berjuang sendiri menghidupi anak-anaknya, sebab suami mereka pergi merantau dengan meninggalkan janji-janji!”