Mohon tunggu...
Bening Christalica
Bening Christalica Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang menyukai budaya, seni, dan sastra. Suka menulis dan menari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lintang Parangkusumo

24 Desember 2022   23:05 Diperbarui: 24 Desember 2022   23:50 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kamu sungguh-sungguh mau pergi, Mas?" tanya Lintang untuk meyakinkan dirinya sendiri. Lintang tahu kalau sebenarnya Purnomo juga merasa berat dengan perpisahan ini.

"Tang, dari awal kan kita juga sudah tahu apa yang akan kita hadapi. Apalagi pada hubungan kita yang akan menyakitkan kita berdua kalau dilanjutkan."

"Tega sekali!"

"Lalu aku harus bagaimana, Tang? Aku sudah punya tunangan di Surabaya. Bukannya kamu juga sudah tahu hal itu saat pertama kali kita berkenalan."

"Aku hanya ingin kamu tidak pergi dari Jogja, Mas."

"Tapi seharusnya kita juga sudah tahu, apa artinya kalau kita tetap melanjutkan hubungan ini?"

Lintang memandang laki-laki di hadapannya. Purnomo tampak sangat bingung. "Artinya bagaimana, Mas?"

"Apa aku harus menjelaskan satu persatu hal yang sesungguhnya sudah kamu ketahui?"

Tak disangka Purnomo berkata sampai meneteskan air mata. Lintang tidak tega memandang wajah lelaki itu. Cepat-cepat ia memalingkan wajah ke arah laut selatan, memandang ombak Pantai Parangkusumo yang berkejaran di bawah langit malam.

"Kalau Mas Pur memang sungguh mencintaiku, ayolah kita menikah saja!""

"Lalu bagaimana dengan tunanganku, Tang? Apa harus kutinggalkan, lalu menikah denganmu?"

Lintang menjadi kesal. Jika jalan terbaik untuk hubungan mereka berdua seperti itu, mengapa Purnomo tidak mau melakukannya? Apa ia tidak berani? Kalau tidak berani melakukan berarti rasa cintanya selama ini hanya di bibir saja. Percuma saja Lintang jatuh bangun menjaga cinta itu. Cinta yang berulang kali ia redam dengan akal pikiran sehat, karena ketika Lintang datang ke Parangkusumo ia merasa tak butuh lagi cinta. Tetapi saat bertemu Purnomo yang melakukan penelitian di Parangkusumo, ia jatuh cinta pada laki-laki itu.

"Mengapa tidak, Mas?" tanya Lintang.

"Kalau keinginanmu seperti itu, aku tidak sanggup. Aku minta maaf, Tang."

"Kamu tega, Mas. Kamu tidak sungguh-sungguh mencintaiku," ucap Lintang bergetar. Ia bangun dari duduknya dan berlari meninggalkan pantai tanpa pamit.

Lintang merasa terluka, ia merasa jatuh dalam putaran air yang semakin lama berputar semakin cepat dan bersiap akan menenggelamkan dirinya.

"Lintang!" panggilan Purnomo tak lagi digubris oleh Lintang. Ia terus saja berlari menjauhi pantai.

Senja sudah menjadi gelap. Geliat Pantai Parangkusumo mulai terlihat. Namun hari itu Lintang benar-benar malas untuk melakukan apapun. Dalam pikirannya selalu saja terlintas tentang Purnomo. Sejak pertemuan terakhir itu, Purnomo tak pernah datang lagi, bahkan berkabar lewat WhatsApp pun tidak. Lintang mengedarkan pandangannya keluar jendela. Lampu-lampu warung dan tempat karaoke sepanjang pantai Parangkusumo pun sudah menyala. Di malam Jumat Kliwon, Pantai Parangkusumo pasti ramai dikunjungi banyak orang dengan berbeda-beda tujuan. Dari orang yang hanya ingin mencari segarnya angin pantai, mengikuti ritual labuhan, ngalap berkah, tirakatan, hingga wisata ziarah. 

"Sudah malam kok kamu belum berdandan, Tang?" Terdengar suara Bunda, mucikari yang mengangkatnya dari keterpurukanan karena Lintang tidak punya uang untuk melanjutkan kuliah. Alih-alih melanjutkan kuliah, setelah mengenal uang, Lintang malah memilih berhenti kuliah dan bekerja pada Bunda. Walaupun warung karaoke di kawasan Parangkusumo tak seramai dulu karena ada penertiban dan razia, namun Lintang masih bertahan. Untuk menghindari razia, Lintang dan teman-temannya juga sering mendapatkan pekerjaan lewat transaksi terselubung melaluli media digital.

Di tempat karaoke ini, Lintang merasa Bunda lebih perhatian padanya dari pada teman-teman perempuan malam lainnya. Apa karena Lintang selalu memberinya uang lebih dari pada yang lain? Atau apa karena Lintang adalah perempuan paling muda dan berharga yang selalu jadi rebutan tamu tempat karaokenya? Entahlah. Tempat karaoke milik Bunda yang ada di tepi Pantai Parangkusumo ini adalah seperti rumah sendiri bagi Lintang. Tempat karaoke ini tak jauh dari Cepuri Parangkusumo yang konon adalah tempat bertemunya Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul. Kini tempat itu sering dikunjungi banyak orang, terlebih saat malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon.

"Malam ini aku libur saja, Bun," jawab Lintang.

Bunda mendekati Lintang dan memegang pundaknya. Tangannya kemudian beralih membelai rambut Lintang.

"Lintang. Akhir-akhir ini Bunda melihat kamu seperti gelisah. Ada apa? Apa karena pacarmu itu sudah jarang berkunjung ke sini?"

Lintang meninggalkan jendela dan duduk di tempat tidurnya. Bunda mengikutinya.

"Tang, kamu itu cantik dan masih muda. Kamu bisa dengan mudah dapat tamu yang kamu sukai atau tamu yang kaya raya. Seberapa berartinya pacarmu itu, Tang?"

"Entahlah, Bun. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku merasa kehilangan Mas Pur. Buatku Mas Pur itu berbeda, aku merasa aku jatuh cinta padanya," tiba-tiba air mata mengalir di kedua pipi Lintang.

Ia menjadi teringat saat pertama kali berkenalan dengan Purnomo. Waktu itu Purnomo datang berkunjung ke Pantai Parangkusumo mencari data untuk kelengkapan tesisnya. Purnomo menemukannya di pojok luar Cepuri dan banyak bertanya pada Lintang. Perhatian Purnomo berhasil merobohkan pendiriannya yang tak percaya pada cinta. Namun Lintang sadar siapa dirinya. Apa pantas perempuan sepertinya mencintai Purnomo? Seiring waktu Purnomo juga malah sering datang ke tempat karaoke di mana Lintang bekerja, menumbuhkan benih-benih cinta antara keduanya.

"Simpan rasa cintamu itu, Tang. Perempuan seperti kita ini tidak pantas mempunyai cinta. Kamu harus bisa melawan rasa itu. Sudah semakin malam, segeralah berdandan," Bunda berkata sambil berdiri untuk menemui para tamu.

"Bun. Sekali lagi aku minta, malam ini saja aku minta libur!"

Dengan memakai jaket Lintang berjalan menuju pantai yang ramai oleh pengunjung. Semilir angin pantai menyebarkan harumnya bunga sesajen dan kemenyan. Sesekali tercium juga bau asap rokok yang menyengat saat melewati beberapa lelaki yang sedang bercengkrama di hamparan pasir pantai. Bau-bauan yang sudah tak asing lagi untuk Lintang. Bau yang sebenarnya tidak ia sukai. Namun semua terpaksa ia terima masuk ke dalam kehidupannya selama lebih dari tiga tahun.

Lintang duduk di pasir kering yang jauh dari keramaian. Sembari menatap ombak yang bergulung-gulung datang pergi, Lintang teringat kembali pada sosok lelaki tampan yang akhir-akhir ini membuat dadanya sesak. Sudah hampir tiga minggu Purnomo tidak datang dan tidak menghubunginya atau sekedar memberi kabar. Di tempat inilah ia mengenal Purnomo. Apabila boleh memilih, Lintang ingin memutar waktu untuk kembali ke Jogja kota dan tidak pernah pergi ke tepi laut selatan ini. Ia ingin mengenal Purnomo jauh-jauh hari sebelum dirinya bertemu Bunda. Namun apakah waktu bisa kembali?

"Dik, kok sendirian? Sudah malam lho," tiba-tiba seorang lelaki setengah baya sudah berdiri di hadapan Lintang. "Aku belum dapat gandhengan untuk tirakat, temani aku yuk?"

Lintang segera bangun berdiri ketika lelaki itu mendekatinya. Ia muak memandang wajah lelaki itu. Tirakat? Tirakat yang belum tentu kebenarannya dan tak bisa diterima akal sehat. Untuk mewujudkan sebuah keinginan harus tidur dengan perempuan yang bukan istrinya sendiri. Tirakat macam apa itu?

"Kalau mau ajak-ajak itu ngilo sek, Mas!" jawab Lintang ketus seraya menyingkir pergi. 

"Ciblek elek!" seru lelaki itu. 

Lintang berlari menuju tempat karaoke Bunda. Tak dipedulikannya teriakan lelaki setengah baya tadi. Dadanya sesak karena ia kangen dengan Purnomo.

Sampai di depan pintu masuk, Lintang terkejut. Ia menghentikan langkah karena ada sepasang mata menatapnya di bawah temaram cahaya lampu yang remang-remang. Lintang terbiasa dengan mata itu, mata yang telah membuatnya tak berdaya.

"Tang. Aku tak bisa melupakanmu. Ayo kita pergi dari sini dan menikah. Jangan jadi Lintang Parangkusumo lagi. Jadilah Lintang keluarga kita kelak!"

Lintang berdiri diam terpaku. Lidahnya terasa kaku dan tak bisa berkata-kata. Yang ia rasakan hanya gembira dan kelegaan yang luar biasa.

 *Cerpen ini menjadi juara 1 dalam Lomba Cerpen Daulat Sastra Jogja pada bulan Juli 2022 yang workshopnya diadakan di Sanggar Anak Alam, latihan pentas karya sastranya di Dinas Kebudayaan DIY, dan pentas serta penghargaannya dilaksanakan di Pelataran Joko Pekik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun