Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika pelaku adalah juga tergolong anak. Agar tidak bias makna, dalam Pasal 1 ayat (3) UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Berdasarkan UU a quo, dapat dipahami bahwa seseorang (anak) yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana yakni anak antara umur 12 sampai 18 tahun. Konsekuensi logis, kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan lebih dari 18 tahun sudah termasuk dewasa. Masih mengenai UU SPPA, maka dalam UU ini dikenal pengaturan mengenai diversi danrestorative justice. Secara singkat diversi merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan (Jack E. Bynum, 2002). Sedangkan restorative justice merupakan sebuah tindakan yang berorientasi pada pemulihan hubungan korban-pelaku pasca terjadinya tindak pidana. Pemulihan itu dilakukan melalui forum dengar pendapat antar kedua belah pihak. (Howard Zehr, 1990). Singkatnya bahwa berdasarkan UU SPPA, sedapat mungkin anak yang melakukan tindak pidana, dialihkan ke luar sistem peradilan pidana dan diselesaikan melalui musyawarah dengan tidak melupakan kerugian korban.
Namun UU SPPA sendiri mengatur secara limitatif terkait hal ini. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA menegaskan diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana dilakukan :a.diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Sehingga bila merujuk pada Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas, delik pencabulan terhadap anak diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Hal ini berarti bahwa pelaku pencabulan terhadap anak tidak dapat didiversi (dialihkan), kendati masih tergolong anak.
Sanksi Menghentikan Delik Pencabulan Anak
Berdasarkan aturan perundang-undangan yang sah berlaku di negara kita, maka secara tegas dinyatakan bahwa : delik pencabulan anak sebagai delik biasa dan pelaku pencabulan anak tidak dapat didiversi (dialihkan) meskipun anak. Pertanyaan penting selanjutnya yakni : apakah ada sanksi bagi oknum aparat penegak hukum, khususnya penyidik (karena berada pada garis terdepan proses peradilan pidana), yang menghentikan proses perkara pencabulan anak? Sejauh pengamatan penulis, bahwa memang tidak ada ketentuan yang memberikan sanksi kepada penyidik yang menghentikan penyidikan khususnya delik pencabulan anak.
Namun apabila merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian RI No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, di Bab IV mengatur perihal evaluasi kinerja penyidik. Hal ini dapat diartikan sebagai sanksi tidak langsung bagi kinerja penyidik yang bersangkutan bila menghentikan kasus pencabulan anak. Selama dipermasalahkan tentunya melalui prosedur yang benar dan disertai bukti-bukti, maka akan menjadi catatan hitam dalam rekam jejak si oknum penyidik. Catatan hitam ini diharapkan akan berpengaruh pada perkembangan karir dan kinerja. Meski untuk sampai pada tahap ini memang sangat sulit. Namun setidaknya dengan pengawasan dari khalayak, akan membuat penyidik lebih berhati-hati dalam melaksanakan proses penyidikan khusus penyidikan kasus pencabulan anak. Sehingga ke depan tidak akan terjadi, penghentian kasus pencabulan anak yang tiba-tiba terhenti di tengah jalan, seperti topik diskusi di group facebook saya di atas (di awal tulisan). Karena delik pencabulan anak bukanlah delik aduan.
Penulis : konsen pada masalah perlindungan anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H