Belum lama ini, di media sosial (facebook) beredar sebuah foto empat orang siswa setingkat SMA. Di dalam foto terlihat keempat siswa sedang duduk (jongkok) di lantai kelas sekolah, masing-masing siswa terlihat menjepit dengan bibirnya dua batang rokok yang sudah dibakar. Dari keterangan gambar yang diberikan sang pengupload (yang memasukkan gambar ke media sosial), bahwa keempat siswa ini sedang menjalani sanksi (hukuman) sebagai akibat perbuatan mereka yang kedapatan merokok pada jam pelajaran sekolah. Tindakan pengupload yang merupakan guru dari siswa-siswa yang disanksi itu, sontak ditanggapi beragam oleh para netizen (pengguna media sosial). Pro dan kontra menghiasi komentar-komentar sebagai reaksi menyebarnya foto itu. Sang guru dengan entengnya menjawab : “ini adalah sanksi bagi siswa yang membandel”.
Merespon tindakan sang guru, tulisan berikut hendak memberi “sedikit” sumbangsih pemikiran menyangkut perihal penyebaran/ publikasi identitas anak. Hal tersebut berkaitan dengan pertama, apakah sanksi yang diberikan guru kepada siswa sudah tepat. Kedua, bagaimana pengaturan perihal penyebaran/ publikasi identitas anak dalam aturan hukum kita. Ketiga atau yang terakhir apakah si penyebar foto anak dapat dikenakan sanksi.
Sanksi yang Mendidik
Bila melihat usia siswa-siswa yang disanksi ini, dapat dipastikan mereka masih berada di bawah umur delapan belas tahun. Dalam aturan perundang-undangan negara kita khususnya UU Perlindungan Anak, maka seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan maka digolongkan sebagai anak (Pasal 1 ayat (1) UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Maka dapat dipastikan keempat atau setidaknya salah seorang dari siswa-siswa yang di foto itu masih tergolong anak. Sudah hal lazim bila setiap anak bertindak sedikit berbeda dari orang dewasa.
Anak-anak diciptakan sebagai bagian dari proses persiapan menuju dewasa. Oleh sebab itu alangkah baiknya jika pandangan setiap orang (khususnya dewasa), mengakui bahwa anak-anak mempunyai dunia sendiri yang harus dihargai dengan tidak melupakan pendidikan guna masa depan mereka (anak). Kenakalan-kenakalan anak kiranya dipandang berbeda dengan kejahatan orang dewasa. Kenakalan anak hendaknya dipandang sebagai perbuatan menyimpang yang dilakukan anak, atas perilaku yang dilihat, disaksikan dari lingkungan sekelilingnya.
Wajib diingat bahwa anak adalah peniru ulung. Maka bila anak berperilaku menyimpang, tindakan menghukum tidak akan serta merta menyelesaikan masalah. Karena masalah yang sebenarnya ada pada : apa yang disuguhkan di sekitar anak. Tindakan sang guru yang menghukum dengan menyuruh anak menghisap rokok karena kedapatan merokok, seolah hendak mengajari anak bahwa karena merokok salah maka harus dihukum dengan cara merokok pula. Tindakan ini kiranya kurang tepat, mengingat anak bukanlah manusia tanpa pemikiran rasional. Anak akan selalu berpikir menggunakan akal sehatnya, kendati terbatas, tidak seperti pemikiran orang dewasa. Sanksi yang diterima anak akan meyakinkannya bahwa dirinya pantas untuk menerima itu. Sanksi yang demikian hanya akan terus memojokkan anak dan tidak memberi pembebasan baginya dari masalah yang sesungguhnya.
Sanksi memang perlu diberikan, namun hendaknya sanksi yang bersifat mendidik. Fokus didikan tidak berada pada sanksi (hukuman), namun pada pemulihan setelah perbuatan menyimpang anak. Jika pada contoh kasus anak merokok di atas, maka kiranya fokus guru tidak hanya terpaku pada sanksi untuk menimbulkan efek jera. Namun kiranya guru perlu instropeksi apakah didikan yang diberikan sudah optimal. Bahkan pada titik ekstrim, guru juga harus mampu meninggalkan kebiasan merokok guna menunjukkan pada anak bahwa merokok memang berbahaya dan tidak baik untuk kesehatan. Keteladanan yang dibutuhkan anak, bukan hanya sekedar sanksi, yang selalu diidentikkan dengan penjeraan.
Aturan Perihal Penyebaran/ Publikasi Identitas Anak
Keseriusan Negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak, sudah tidak perlu diragukan. Salah satu bukti nyata dengan diterbitkannya UU No 35 Tahun 2014 sebagai perubahan dari UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya tujuan direvisinya UU ini untuk mengakomodir beberapa perbuatan yang merugikan hak-hak anak yang belum diatur dalam uu sebelumnya. Selain UU Perlindungan Anak, UU Peradilan Anak juga ikut diperbarui. UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga dirasakan sudah tidak sesuai lagi dalam mengatur proses peradilan khususnya anak yang berhadapan dengan hukum. UU ini diganti dengan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Khusus perihal penyebaran atau publikasi identitas anak telah diatur dalam Pasal 64 huruf (i) UU No 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 35 Tahun 2014 menyatakan : sebagai bentuk perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum maka dilakukan dengan penghindaran dari publikasi atas identitasnya. Selanjutnya pada pasal 19 ayat (1) UU No 11 Tahun 2012 menegaskan : “Identitas Anak, Anak Korban, dan/ atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik”. Pasal 19 ayat (2) UU a quo : “Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.”
Pasal 97 UU a quo menegaskan : “Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah.)” Demikian bunyi beberapa pasal yang mengatur perihal penyebaran/ publikasi atas identitas anak. Identitas anak yang berhadapan dengan hukum, kiranya bukanlah menjadi konsumsi publik. Karena apabila identitas itu dipublikasikan dan menyebar berpotensi disalahgunakan dan hanya akan menambah beban si anak untuk semakin menjadi korban. Perihal penyebaran/ publikasi atas identitas anak telah diatur di dalam aturan perundang-undangan kita, khususnya UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sanksi bagi Sang Pengupload
Khusus bagi tindakan sang guru mengupload foto anak yang sedang dihukum, makahingga saat ini kiranya tidak ada satu aturan perundang-undangan yang dapat menjerat tindakan sang guru dengan sanksi pidana. Mengingat yang dimaksud pembentuk UU sebagai anak yang mendapat perlindungan khusus yakni anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 ayat (2) UU No 11 Tahun 2012 tentang SPPA). Jika melihat contoh kasus di atas maka dapat dipahami keempat siswa (anak) yang fotonya disebar oleh sang guru, tidaklah termasuk sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.
Mereka bukanlah anak sebagai pelaku tindak pidana (merokok bukan tindak pidana), bukan korban tindak pidana dan juga bukan saksi tindak pidana. Tindakan para siswa tersebut, kedapatan merokok pada jam pelajaran sekolah kiranya dapat dipahami sebagai perilaku sosial menyimpang. Maka pada Pasal 59 ayat (1) UU No 35 Tahun 2014 mengingatkan : “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.” Dilanjutkan pada Pasal 59 ayat (2) huruf n UU a quo : "Perlindungan Khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada : anak dengan perilaku sosial menyimpang.”
Kendati belum diatur tentang sanksi pidana terhadap orang yang menyebar foto siswa-siswa yang sedang dihukum tersebut, namun UU Perlindungan Anak menegaskan adanya perlindungan khusus yang diupayakan pihak-pihak terkait (diantaranya Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga negara lain) terhadap orang yang menyebar/mempublikasikan identitas anak dengan perilaku sosial menyimpang ini. Tidak harus terfokus pada sanksi terhadap penyebar namun kiranya upaya pencegahan (preventif) juga perlu. Upaya preventif itu misalnya dengan memberikan pemahaman mendalam melalui iklan layanan masyarakat, seminar, sosialisasi, dsb bahwa identitas anak dengan perilaku menyimpang tidak perlu dipublikasi/ disebar, karena hanya akan berdampak buruk bagi anak. Tindakan itu sudah merupakan tindakan konkrit guna memberikan perlindungan khusus bagi anak demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).
Penulis : konsen dalam masalah perlindungan anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H