Mohon tunggu...
Benigno Nainggolan
Benigno Nainggolan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lego et Scribo, ergo Sum.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bercogito Ergo Sum

25 Maret 2024   12:20 Diperbarui: 25 Maret 2024   12:25 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam demokrasi kepada kita para readers dan kompasioner, pada era modern dan postmodern ini, kita dilanda oleh situasi ketidakpastian. Tatkala subjektivitas dan budaya individualis semakin berkembang, nilai kebudayaan pun semakin mengalami relativisir. Karena itu, kita kesulitan untuk melihat mana yang sungguh mutlak, pasti, dan absolut. Kita kesulitan untuk menemukan prinsip-prinsip  umum/universal. Siapa saja bisa mengklaim kebenarannya. Siapa saja bebas untuk mengemukakan ideologi dan konsepsinya masing-masing. Dan siapa saja dan pihak mana pun bisa mengemukan etika praktisnya. 

Dengan kuatnya budaya kesendirian  dan melemahnya budaya kolektivitas, masyarakat pun digiring pada budaya persaingan;persaingan untuk membuat diri eksis secara personal. Maka ada suatu semboyan yang mengemuka pada era digital ini, yang merepresentasikan situasi global-psikologis kemasyarakatan kita  yakni "aku viral maka aku ada"; i am viral therefore i exist"  Orang berlomba- lomba dan sibuk meng-update dirinya di dunia maya dan virtual supaya bisa dikenali orang. Orang-orang juga bersaing untuk mejadi influencer: dikenal sebagai pribadi yang berpengaruh dalam hidup. Dalam arti tertentu orang ingin mengabadikan  dan mempopulerkan dirinya masing-masing sehingga ia tetap merasa ada dan eksis di dunia. "Semakin viral, maka semakin berharga." 

Maka ketika semua orang berupaya untuk menjadi updated dan influencing, kita pun semakin dilanda oleh situasi yang marak akan ketidakpastian. Ambiguitas bertumbuh karena beragamnya informasi yang persuasif. Persoalannya adalah bahwa para updaters memviralkan konten yang lebih cenderung menggugah emosi. 

Konten lebih berisikan apa yang menarik secara superfisial dan kurang bermutu secara esensial. Semakin diperparah lagi oleh netizen yang kurang kritis. Kita mudah dipersuasi secara emosi dan kurang kritis memilah informasi. Efeknya adalah berdarnya HOAKS sehingga yang merusak kebersamaan atau kolektivitas. Dengan panorama ini, kita pun dapat menyimpulkan bahwa budaya berpikir semakin memudar, sementara yang kuat adalah budaya memviral nan emosional. Ketika kita semakin emosional, ketika itu juga kita semakin melepaskan esensi kita seagai makhluk yang mulia dengan kemampuan berpikir/me-ratio. 

Karena itu agaknya kita harus menengok kembali semboyan yang menjiwai era modern yaitu cogito ergo sum dari Rene Descartes. Apa cogito ergo sum itu? Semboyan ini mau menandaskan kepada kita untuk megupayakan kekuatan pikiran kita dalam menjalani hidup real/realitas hidup kita. Berpikir menurut Descartes berarti meragu-ragukan segala hal, skeptis dan menguji segala hal secara rasional, bukan secara emosional dan instingtif. 

Dalam konteks Descartes, ia memastikan keberadaan Tuhan, dunia dan lain sebagainya, itu didasarkan pada dia yang berpikir. Dia meragu-ragukan segala keyakinannya dan dari keragu-raguan itu dia pun bisa dengan mantap meyakini segala keyakinan yang dia anut. Maka tidak serta merta dia percaya dengan apa yang ia alami. Selau dilandasi dengan cogito.

Jika kita meletakkan metode berpikir itu pada konteks kemajuan teknologi sekarang dengan budaya memviralkan diri itu, mari kita dalam menerima segala informasi dengan berdasar pada skeptisme. Mari memikirkan apa yang kita dapat dari dunia net.  Jangan lekas percaya. Uji secara kemasukakalan. Aplikasikan prinsip cogito supaya kita tetap mampu melihat apa yang sungguh benar, baik, utuh, dan indah secara umum. Dunia dan zaman boleh menawarkan apa yang menggugah perasaan, tetapi kita harus mampu tetap anstisipatif dengan rahmat berpikir yang kita punya. Tidak ada yang salah dengan zaman, yang bisa keliru adalah konsepsi dan pandangan kita tentang zaman. Mari memandang dunia dengan terlebih dahulu berangkat kacamata rasionalitas yang selalu objektif dan valid. 

Subjektivitas yang diusung oleh zaman kita ini pada hakikatnya adalah subjektivitas berpikir, bukan ber-emosi. Salam demokrasi.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun