Kasus pandemi covid 19 membawa berbagai dampak destruktif dari aspek ekonomi, keuangan, dan sosial. Pandemi Covid 19 menyebabkan laju roda perekenomian terhenti, hampir seluruh negara di dunia kelimpungan dan mengharuskan pemerintah untuk mengambil tindakan lock down, partial lock down, dan pembatasan sosial dalam rangka meminimalisir risiko penularan.Â
Namun, kebijakan koersif tersebut berdampak positif terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan data dari Carbon Brief (2020) diperkirakan estimasi karbon China berkurang 25% dalam empat minggu (200 MtCO2), dan permintaan energi minggu diseluruh China turun hingga 15% akibat kebijakan lock down yang dilakukan pemerintah.Â
Korea dan Jepang mengambil kebijakan partial lock down, dan berdampak permintaan energi yang turun hingga 10 %. Demikian juga negara di Eropa dengan menurunkan permintaan hingga 17 %. Artinya terjadi penurunan emisi dan berdampak pada kualitas udara dan lingkungan menjadi lebih baik.
Momentum pandemi Covid 19 nampaknya membuat negara-negara di belahan dunia  berpikir ulang dalam menata kembali kebijakan ekonomi di masa depan. Konsep ini lebih dikenal dengan green economy recovery.Â
Ini bukanlah suatu konsep yang baru, beberapa tahun belakangan wacana ini sudah marak dikampanyekan terutama untuk mengurangi emisi karbon untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Bahkan, beberapa ekonom telah mewacanakan build back better, mengejar pertumbuhan ekonomi dengan menekan emisi karbon (CO2).Â
Gagasan ini juga telah diikuti oleh beberapa negara seperti Jerman, Perancis, Chile, Denmark, dan Amerika Serikat. Bahkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden membawa kembali Amerika Serikat bergabung kembali dalam Paris Climate Accord, dan berkomitmen untuk berinvestasi pada proyek berbasis clean energy dengan target net zero emission pada 2050.
Ke depan, kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan Covid 19 harus diselaraskan dengan konsep green economy recovery dimana aspek lingkungan hidup menjadi pertimbangan. Pemulihan ekonomi berupa bantuan, pinjaman, pajak harusnya diarahkan untuk mendukung ekonomi hijau serta pengembangan energi terbarukan.Â
Berbagai riset menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang berorientasi pada green economy mampu memberikan dampak positif terhadap lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, serta lingkungan hidup. Sebelum pandemi Covid 19 dalam Nationally Determined Contribution (NTC), Indonesia memiliki target menurunkan GRK sebesar 29 % dan target conditional dengan bantuan internasional sampai dengan 41% Â di tahun 2030.
Untuk komitmen dan keseriusan pemerintah Indonesia kita dalam mendukung green economy tertuang dalam RPJMN 2020-2024 mengenai kerangka kerja pembangunan rendah karbon.Â
Berdasarkan laporan pembangunan rendah karbon Indonesia 2019 berdampak pada pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sekitar 6 % dan menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 43 % pada tahun 2030.Â
Paradigma pembangunan ekonomi sejatinya bukan hanya berorintasi pada pertumbuhan PDB, namun juga harus dilihat dari dampak terhadap lingkungan hidup, seperti konservasi hutan, keseimbangan ekosistem, dan tersedianya kualitas udara yang baik.
Berdasarkan Laporan Kajian Pembangunan Rendah Karbon Indonesia diketahui bahwa dengan PRK dapat diciptakan manfaat secara ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bersamaan.Â
Menurut hasil kajian pada tahun 2045 melalui konsep PRK kemiskinan ekstrim dapat diturunkan dari 9,8% pada 2018 menjadi 4,2 % lebih dari 15,3 juta pekerjaan tambahan yang hijau tercipta. Selain itu kualitas udara dan air membaik dan dapat mencegah kematian hingga 40 ribu setiap tahun.Â
PRK juga dapat membantu mencegah hilangnya 16 juta hektar kawasan hutan dan menutup kesenjangan gender dan wilayah. Diperkirakan total nilai tambah PDB mencapai USD 5,4 Triliun dan investasi yang dibutuhkan untuk rasio PDB lebih rendah dibandingkan dengan bisnis seperti biasa.
Seperti diketahui, beberapa tahun belakangan pemerintah telah mencanangkan skenario pertumbuhan ekonomi tinggi dan menuju pendapatan tinggi di 2035 dan masuk dalam empat besar PDB terbesar di dunia.Â
Tahun 2016 lalu pemerintah sudah memulai dengan penguatan struktur ekonomi, pada tahun 2026 percepatan pertumbuhan berbasis inovasi, dan pada tahun 2036-2045 pemerintah menargetkan modernisasi ekonomi berbasis kualitas dan berkelanjutan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 6,3% per tahun dengan target PDB sebesar USD 17.474 Miliar. Ini merupakan salah satu dari ambisi pemerintah untuk mewujudkan Indonesia Emas di 2045.
Kita berharap bahwa ambisi mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan pertumbuhan ekonomi tinggi tatap memelihara komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup.Â
Kita berharap bahwa wacana tersebut tetap menjadi agenda prioritas nasional, sebagaimana tertuang dalam RKP 2021 (RPJMN 2020-2024) bahwa pemerintah akan fokus pada pembangunan rendah karbon, membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, perubahan iklim, dan memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dengan energi terbarukan (EBT).
Ben Ibratama, S.I.Kom, M.Sc, CHCM (Tenaga Ahli DPR RI)
References :
- Analysis : China CO2 emissions surged past pre coronavirus level in May. 2020. www.carbonbrief.rorg
- Global Energi Review 2020. The Impact of The Covid 19 Crisis on Global Energi Demand and CO2 Emissions. www.iea.org
- (Internasional Energy Agency)
- Nationally Determined Contributions (NDCs). The Paris Agreement and NDCs. www.unfcc.int
- Nationally Determined Contribution (NDC) Pertama Republik Indonesia. 2019. www.ditejenppi.menlhk.go.id
- Strategi Implementasi NDC. 2017. www.ditejnppi.menlhk.go.id
- Managing Directors Opening Remarks at the Petersburg Climate Dialogue XI. 2020. www.imf.org
- (RPJMN) 2020-2024. 2020. www.bappenas.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H