Tahun 2021 lalu saya sempat mendaki Gunung Rinjani bersama teman-teman yang saya temukan di salah satu grup traveling di Indonesia. Setelah ngobrol dan berdiskusi di grup WhatsApp. Akhirnya kami berempat memutuskan berangkat. Dan saat itu masih pandemi. Saya tidak ingin bercerita mengenai drama liburan saat pandemi, bakalan panjang. Jadi saya skip.
Long story short. Setelah sampai di bandara Zainuddin Abdul Majid-Lombok kami langsung cari masjid untuk shalat jumat dan setelah itu langsung pergi ke basecamp. Dari bandara sudah dijemput sama pemilik basecamp. Sesampainya di sana kami diskusi menegenai rencana besok, ngobrol-ngobrol dengan pemilik basecamp yang ramah dan istirahat.
Rencananya kami akan berangkat via jalur Sembalun -- Torean, tiga hari dua malam. Jadi nanti bisa ngecamp di Sagara Anak dan pulang melalui jalur Torean yang merupakan jalur baru dan katanya memiliki pemandangan yang sangat indah, sekaligus bikin sport jantung.
Habis shalat shubuh kami diantar pemilik basecamp pergi ke desa Sembalun buat urus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) Taman Nasional Gunung Rinjani. Jarak dari basecamp ke Sembalun sekitar satu jam, tapi yasudahlah ya, yang penting lancar prosesnya.
Gerbang Sembalun -- Pos 1 -- Pos 2
Kami menyewa jasa satu porter yang akan menjadi guide, membawa tenda, logistik, bantu-bantu masak, dan cari air. Dari desa Sembalun ke gerbang Sembalun kami diantar naik mobil dan lucunya adalah dari pintu gerbang Sembalun ke pos dua kami naik ojek atas saran dari anak-anak yang lain. Katanya itu bisa memangkas waktu sekitar tiga jam. Aku juga cenderung santai dan ingin menikmati suasana jadi ikut saja.
Gunung Rinjani adalah gunung tertinggi nomor tiga setelah Kerinci dan Puncak Jaya, dengan ketinggian 3.726 mdpl dan itu pasti melelahkan sekali, jadi kalau bisa sampai puncak ya syukur, dan jika tidak pun ya tidak jadi apa-apa.
Pos 2 -- Pos 3
Jadi mulai trekking itu dari pos dua, sekitar jam sepuluh siang. Selama trekking masih aman karena kondisi jalan cenderung landai dan sepanjang mata memandang padang savana. Cuaca cerah tapi berangin jadi antara panas campur dingin. Dan pada saat itu cukup banyak pendaki yang nanjak, dan banyak penampakan bule juga. Kurang lebih sekitar dua jam lamanya.
Pemandangan selama perjalanan itu awalnya biasa saja, tetapi semakin lama, semakin menanjak treknya pemandangan yang disuguhkan semakin indah. Bukit-bukit hijau terdampar, dari jauh terlihat gunung Rinjani yang gagah, persis setting The Lord of The Rings.
Pos 3 -- Plawangan Sembalun
Sesampainya di Pos 3 (Plawangan Sembalun) jalur semakin menanjak dan terasa melelahkan. Jalur ini biasa disebut Bukit Penyesalan. Mungkin karena jalurnya yang banyak sekali tanjakannya dan bikin capek. Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam dan itu full nanjak, kebayang capeknya dan agak ngeri sih pas lihat ke bawah karena cukup tinggi. Dan pemandangan yang terlihat juga jadi semakin indah. Â Sore harinya kami sampai. Disambut oleh puluhan monyet-monyet eksotis. Danau Sagara Anak nampak jelas dari sini. Landskap
Di sini kami dan para pendaki nge-camp. Karena di sini tanahnya cukup landai. Dan yang buat aku heran adalah bapak porternya sudah sampai duluan dan pasang tenda. Luar biasa.
Plawangan Sembalun -- Puncak Rinjani (Summit Attack)
Selang beberapa menit cuaca mendadak buruk. Angin kencang dan hujan tiba-tiba turun. Suhu yang memang sudah dingin jadi semakin dingin dan mendadak gelap. Padahal masih sekitar jam empat sore. Kami dan para pendaki lain memutuskan untuk masuk tenda masing-masing saking parahnya badai saat itu. Kami pun masak di dalam tenda. Berkumpul dalam satu tenda yang agak besar buat makan malam. Bapak porter bilang kalau keadaan seperti ini biasanya ada yang sedang melakukan ritual atau sembahyang disekitaran Kawasan Gunung Rinjani atau di danau Sagara Anak.
Semakin malam semakin dingin. Hujan turun dan angin kencang sampai menggoyangkan tenda. Suara semuruh terdengar jelas. Agak chaos suasananya. Keadaan berlangsung semalaman. Jam empat pagi kami siap muncak, walau kami agak kesiangan berangkatnya. Sebenarnya agak segan karena masih capek, ngantuk, dan suhunya dingin banget. Hujan sudah berhenti tapi angin kencang masih ada. Karena seorang dari kami ingin sekali summit jadi kami berempat bergegas ke sana. Dengan membawa bekal seadanya akhirnua kami berempat pun berangkat.
Mencapai Puncak itu Bonus
Jalur yang kami lalui semakin lama semakin menanjak, banyak bebatuan dan berpasir. Jalur agak rusak efek gempa Lombok 2018 lalu. Tali temali sederhana dipasang di setiap tebing untuk membantu memanjat tebing yang lumayan tinggi. Walau hanya bawa backpack saja tapi rasanya capek banget. Keinginan untuk sampai summit pupus sudah. Pesimis rasanya.
Alhasil aku dan dua teman ditambah satu orang pendaki lain memutuskan untuk tidak sampai puncak. Dan hanya satu orang yang sampai puncak bareng pendaki lain. Aku dan yang lain tetap naik tapi hanya untuk menikmati pemandangan dari ketinggian yang sangat indah. Minum kopi, sarapan sambil ngobrol-ngobrol. Mengingat perjalanan setelah ini masih panjang dan akan melelahkan jadi kami lebih memilih untuk menghemat tenaga untuk selanjutnya ke danau Sagara Anak yang terkenal itu.
                                               Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H