Manunggalnya Tuhan dengan manusia berarti keseimbangan kehidupan jasmani dan ruhani sehingga manusia dapat menghadapi tantangan dari luar dan dari dalam dirinya. Manusia yang dekat dengan Tuhan ibarat manusia memperoleh penjagaan Tuhan, karena bisikan malaikat membimbingnya ke jalan yang lurus (Beni Ahmad Saebani, Ilmu Budaya Dasar, Pustaka Setia, Bandung, 2015:39). Dengan demikian secara filosofis, manusia yang kuat menghadapi tantangan dan godaan setan adalah manusia yang berpegang kepada "jimat"nya, karena "siji" adalah Tuhan "matri" adalah kuat, berarti kuat berpegang kepada petatah petitih dari Tuhan. Sebaliknya yang "lemah iman, cenderung mengikuti hawa nafsunya" adalah manusia yang kehilangan "jimat"nya atau jimatnya tak lagi dijadikan pegangan hidup.
Â
Waktu yang Tepat Ritual Jimat
Ngarak jimat diatur waktunya, karena bertaqarrub kepada Tuhan pun ada aturan waktunya. Supaya lebih afdol dan mustajab. Masyarakat Jawa dan Sunda yang masih memercayai upacara ritual ngarak jimat melakukannya pada hari yang dianggap sakral, yakni pada hari Jumat Kliwon, Malam Selasa Wage (ada energi spiritual), Malam Minggu Legi (ada kekuatan spiritual), terutama saat bulan purnama atau bulan baru dan saat perubahan musim.
Dalam masyarakat muslim tertentu, ngarak jimat dilakukan  pada bulan Mulud (Rabi'ul Awal) yang merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad saw yang dianggap sakral. Dalam tradisi Jawa, Bulan Mulud dianggap sebagai waktu yang tepat untuk ngarak jimat, karena beberapa tujuan, di antaranya adala: (1) menghormati dan memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw.; (2) Mencari berkah dan perlindungan Allah SWT.; (3) Meningkatkan kesadaran spiritual dan ketakwaan; (4) menguatkan hubungan manusia dengan Tuhan dam Nabi Muhammad saw.
Pada bulan Mulud, ngarak jimat dilakukan dengan upacara ritual dan keagamaan diisi dengan membaca al-Quran dan hadits-hadits tentang kelahiran Nabi saw. berdoa dengan syair-syair kenabian, membakar kemenyan dan membaca mantra khusu, dilanjutkan dengan berpuasa dan berzikir.
Dalam ajaran Islam tidak ditemukan mengenai berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dan Sunda, karena semua upacara tersebut bersumber dari kepercayaan Kejawen yang berasal dari sumber sinkritisme antara agama lokal, Hindu, dan Islam. Asimilasi teologis dan akulturasi tiga ajaran ini bukan untuk dibendung karena tidak ada yang bertentang dengan ajaran agama manapun, dari segi esensinya semua upacara itu mengandung tujuan kebaikan. Perspektif agama lokal harus dipahami dengan pendekatan local wisdom, demikian juga dengan  unsur Hindunya, hanya dari perspektif ajaran Hindu sehingga akan mudah dipahami maknanya, sedangkan ajaran Islamnya sebagai bagian dari keinginan masyarakat muslim mewarnai upacara tersebut dengan nilai-nilai keislamanan. Oleh karena itu, ngarak jimat, jimatnya adalah ketauhidan, matrinya iman dengan membaca al-Quran dan mengamalkannya, sedangkan melawan hawa nafsu yang menyesatkan dengan cara membaca shalawat sebagai bentuk rasa cinta dan meneladani Rasulullah saw. yang dijaga oleh para malaikat dari hidup yang dikuasai oleh hawa nafsu setan.
Berlindung kepada Allah SWT. setiap saat tanpa mengenal batas waktu, akan tetapi berlindung kepada Allah secara formal diatur oleh syariat tertentu. Shalat wajib adalah "Kitaban Mauqutan", waktu-waktunya ditentukan. Shalat sunat yang mustajab adalah tengah malam bertahajud dengan rakaat yang ditentukan, zikir-zikir yang dicontohkan, dilengkapi dengan berpuasa sebagai makna bersabar dan selalu mengendalikan hawa nafsu. Demikian pula dengan "ngarak jimat" waktunya ditentukan, mantaranya ditentukan, dan semua medianya sudah diatur sesuai dengan energi spiritual yang diharapkan oleh masyarakat yang melakukannya.
Pelaksanaan "ngarak jimat" hendaklah mandi membersihkan diri, apabila mau lebih bersih secara fisik dan batin, mandilah dengan air yang bersumber dari "tujuh sumur" yang ditaburi oleh kembang "tujuh rupa". Dalam kepercayaan masyarakat kejawen air tujuh sumur melambangkan tujuh aspek kehidupan, yaitu spirutual, emosi, intelektual, fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sebagai filosofi equilibrium kehidupan, yakni keseimbangan kehidupan lahiriah dan batiniah, jasmani dan ruhani.
Tujuh Sumur dan Kembang Tujuh Rupa
Air dari tujuh sumur dan kembang tujuh rupa salah satu media dalam ada siraman calon pengantin. Namun dalam upacara lainnya seperti ngarak jimat pun dilakukan hal yang sama. Adapun kembang tujuh rupa, dalam tradisi Jawa dan Sunda adalah melambangkan keharuman dari tujuh lapisan jiwa dan tingkat spiritual. Bunga adalah lambang kesucian dan kebahagiaan. Jenis bunga terdiri dari Mawar (cinta dan kesucian), Jasmine (kesucian dan kebijaksanaan), Kamelia (kesabaran dan kekuatan) Anggrek (keindahan dan keunikan), Teratai (kesucian dan kebijaksanaa), Lotus (kesempurnaan spiritual dan pencerahan). (Sumber: Kamus Kejawen, Team Depdikbud, penerbit Universitas Indonesia, 1984)
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!