Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Freeport Sedang Bermain Ingin Menciptakan Kelangkaan dan Melambungkan Harga Tembaga Dunia?

24 Februari 2017   22:52 Diperbarui: 25 Februari 2017   08:00 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu hal yang konsisten diperlihatkan Feeport terhadap pemerintah Indonesia dari waktu ke waktu yakni, mereka sangat memperhitungkan resiko bisnis. Dibalik sikap bandel Freeport menolak hilirisasi, menghulur-ngulur waktu pembangunan smelter, intinya mencerminkan sikap demikian. Mereka tidak berani mengambil resiko investasi gagal tanpa jaminan awal dari pemerintah Indonesia bahwa mereka dipastikan akan meraih perpanjangan kontrak 2 x 10 tahun. 

Pihak Freeport  menginginkan adanya kepastian segera sebelum tahun 2019. Demi mendapatkan 20 tahun itu Freeport telah berupaya dengan berbagai cara, dari lobi-lobi gelap hingga resmi, coba menekan pemerintah Indonesia dengan isu PHK agar mengikuti keinginannya.  PT. Freeport Indonesia (PT. FI) saat ini beroperasi berdasarkan kontrak karya (KK) generasi kedua yang ditantangani pada tahun 1991, berlaku 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir pada tahun 2021, dengan opsi perpanjangan 2×10 tahun (sampai tahun 2041).

Suatu kontrak karya, segi konstruksi hukumnya, kedudukan kontraktor dan pemerintah Indonesia statusnya adalah seimbang dan sederajat, keduanya harus memenuhi hak-hak dan kewajiban masing-masing, sesuai aturan yang disepakati.  Artinya, dalam hal ini kedudukan pemerintah Indonesia sebagai pihak yang melaksanakan aktivitas komersial (jure gestionis). Apabila kemudian hari ada sengketa baik karena penafsiran kontrak, atau satu pihak merasa pihak lainnya tidak memenuhi kewajiban kontrak, maka mereka tunduk kepada forum dan mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati. Dalam kontrak Freeport, mekanisme penyelesaian sengketa adalah secara arbitrase. Sesuai ketentuan yang diatur dalam KK, khususnya Pasal 21 tentang Penyelesaian Sengketa: ”Apabila sampai batas akhir waktu negosiasi (120 hari sejak Jumat 12 Februari) belum ada jalan keluar, maka sengketa ini dituntaskan lewat arbitrase”.

Selain posisi sebagai pihak  yang melaksanakan aktivitas komersial, pemerintah Indonesia juga pada posisi Pemerintah Negara Berdaulat,  dalam hukum Internasional dikenal dengan Jure imperii. Pemerintah dalam melaksanakan kedaulatannya tidak terikat dan dibatasi oleh hukum kontrak. Artinya, sebagai pemerintah negara yang berdaulat penuh, pemerintah Indonesia punya kekuatan hukum dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai pemerintah yang mengemban amanah konstitusi negara.  Pemerintah tetap dapat bekerja untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara Indonesia, terkait dengan keberlangsungan kontrak karya yang telah disepakati.

Bahwa PT.FI berhak mengajukan perpanjangan kontrak berturut-turut selama dua kali 10 tahun. Namun persetujuannya tetap di tangan pemerintah Indonesia.  Apabila pemerintah Indonesia melihat ada alasan yang rasional, misalkan ada perubahan peraturan perindang-undangan yang berlaku umum yang melarang bentuk kontrak karya, atau apabila pemerintah berkehendak mengelola sendiri, atau menginginkan divestasi atau peralihan saham maka pemerintah Indonesia berhak untuk menolak perpanjangan kontrak PT.FI. Pemerintah Indonesia punya hak dan kewajiban untuk melindungi harta kekayaan negaranya terhadap ketidakadilan yang memiliki dimensi historis dari sisi hubungan kontraktual, perekonomian daerah, serta dari sisi kebijakan publik Pemerintah Pusat.

Hukum yang mengatur Kontrak Karya Freeport adalah Hukum Indonesia. Salah satu butir isi Kontrak Karya generasi kedua yang berlaku hingga 2021, kontraktor diberikan kebebasan untuk mengekspor hasil tambangnya tanpa harus dimurnikan terlebih dahulu. Pemurnian di domestik sifatnya adalah tidak mengikat, namun disesuaikan dengan pertimbangan ekonomi dan teknis dari Kontraktor.  Jika Freeport menolak mengikuti tahapan hilirasi atau membangun smelter sebagai mana amanat UU Nomor 4/2009 tentang Minerba, maka keinginan Freeport untuk tetap bisa mengekspor konsentrat terganjal oleh Peraturan Pemerintah Nomor 1/2007 tentang perubahan keempat Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara.  Berdasarkan PP Nomor 1/2007,  hanya Perusahaan Pertambangan yang berubah menjadi IUP atau IUPK yang bisa mengekspor konsentrat.  Freeport masih tetap bisa beroperasi di Papua hingga 2021 namun tidak bisa mengekspor hasil tambangnya.

Berubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk memperoleh izin ekspor adalah poin yang tidak diterima sepenuhnya oleh pihak Freeport. Dalam IUPK, skema perpajakan bersifat prevailing atau menyesuaikan aturan yang berlaku, sementara dalam KK bersifat tetap (nail down), termasuk terhadap besaran royalti dan kewajiban divestasinya. Perusahaan juga dikenai kewajiban melepas sahamnya sedikitnya 51 persen kepada Pemerintah Indonesia atau swasta nasional. Sementara Freeport, hanya ingin melepas 30 persen saham dan aturan pajak tetap (nail down) seperti diatur dalam KK.

Di satu sisi Freeport tidak ingin mengalami kegagalan dalam berinvestasi, namun pada sisi lain Freeport malah menggali lobang kegagalannya sendiri untuk meraih kepastian perpanjangan kontrak karya masa 20 tahun setelah tahun 2021.  Freeport tidak menunjukan itikad baik untuk berbisbis dengan cara-cara yang benar.  Sebagai perusahaan multi nasional seharusnya Freeport tanggap dengan setiap perubahan politik yang terjadi Indonesia. Mungkin mereka merasa mewakili kepentingan Amerika Serikat sehingga merasa yakin akan tetap mendapatkan dukungan dari pemerintahnya, bahkan menciptakan arus perubahan politik tersendiri sesuai dengan keinginan mereka.

Sikap arogan Freeport mengabaikan hukum publik di Indonesia sudah sewajarnya mendapatkan ganjaran yang setara. Freeport harus belajar menghargai Indonesia. Lima puluh tahun bercokol di Papua, mendapatkan keuntungan dan kekayaan yang berlimpah dari sana, tidak membuat Freeport merasa berterima kasih dengan negara yang telah memberikannya kesempatan untuk menjadi perusahaan besar kelas dunia.

Bila permasalahan penolakan oleh Freeport ini berlanjut ke pengadilan arbitrase, menang atau kalah, mereka akan menanggung resiko terdepak dari Papua setelah 2021.  Sebagai perusahaan yang sangat memperhitungkan resiko atas setiap permasalahan yang dihadapinya, rasanya kecil kemungkinan masalah ini akan sampai ke pengadilan arbitrase.  Mungkin Freeport akan mengalah, mau mengikuti aturan di Indonesia namun meminta penundaan atau keringanan untuk beberapa hal. Atau mungkin mereka sedang bermain untuk keuntungan bisnisnya, menciptakan kelangkaan ketersedian emas dan tembaga di pasar Internasional guna melambungkan harganya yang saat ini cenderung menurun?  Kita tunggu saja bagaimana reaksi Freeport selama 120 hari ke depan.

******

Ilustrasi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun