Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu ormas dengan catatan kasus kekerasan yang paling banyak. Ormas yang kerap membawa nama agama Islam ini telah berkembang pesat sedemikian rupa meski kerap menampilkan aksi-aksi kekerasan yang meresahkan masyarakat, termasuk dari kalangan umat Islam sendiri. Tindakan mereka kadang terlihat bertentangan dengan prinsip ajaran Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, bahkan tidak jarang menjurus ke anarkisme. Bukti-bukti kekerasan dan pelanggaran hukumnya begitu terang benderang, kenapa pemerintah tidak segera membubarkan FPI?
Melihat kembali pada sejarah berdirinya FPI, meski latar belakang berdirinya organisasi itu ada disebutkan, namun patut diduga bahwa Ormas ini awal kelahirannya sebagai antisipasi kekhawatiran para petinggi TNI dan Polri atas kembalinya kekuatan PKI di masa-masa panas setelah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998. FPI dideklarasikan pada pada tanggal 17 Agustus 1998 di kediaman KH. Misbachul Anam di Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan. Dihadiri oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim, dan dihadiri pula oleh para petinggi TNI dan Polri termasuk Kapolda Metro Jaya saat itu, Nugroho Djayoesman.
Dalam acara deklarasi tersebut, Habib Rizieq berpidato sebagai Ketua Majelis Tanfidzi DPP FPI tentang mimpi mewujudkan Negara Islam. Para petinggi TNI dan Polri yang hadir saat itu hanya diam saja, mungkin mereka yang hadir saat itu berpandangan bahwa Ormas yang baru lahir ini bisa dikendalikan dengan mudah. Dalam struktur organisasinya FPI terdiri dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) untuk skala nasional, juga terdiri DPD, DPW, dan DPC untuk skala propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Duduk sebagai Ketua Majelis Syura DPP FPI adalah Habib Muhsin al Attas. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir pernah tercatat sebagai Ketua DPW FPI Surakarta.
Pada tablig akbar dalam rangka ulang tahun FPI di tahun 2002 lalu, FPI menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi: “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam Jakarta yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945. Mereka menuntut perubahan itu agar dimasukkan ke dalam amandemen UUD 1945 yang sedang dibahas di MPR saat itu, sambil membawa spanduk bertuliskan “Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa”.
FPI yang kini telah berkembang hingga hampir mencapai seluruh propinsi dan kabupatan di Indonesia kini terus menyusun kekuatannya dan melebarkan sayapnya dengan kekuatan laskar paramiliternya, Laskar Pembela Islam (LPI), yang dididik TNI melalui program bela negara dan juga mulai bergandengan tangan dengan organisasi baru yang penting lainnya yakni, Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI yang diketua oleh Bachtiar Nasir.
FPI yang sejak awal terlihat radikal, pernah diminta agar dibubarkan oleh beberapa pimpinan DPR pada masa SBY berkuasa. Namun realisasinya hingga hari ini FPI tetap ada dan terus berkembang dan kian mengancam disintegrasi bangsa. Bagaikan anak macan yang sengaja dipelihara, kini FPI telah tumbuh menjadi macan dewasa yang siap berhadap-hadapan dengan tuannya, yakni TNI dan Polri yang merupakan “garda terdepan” penjaga Pancasila. Agresifitas Habib Rizieq Shibab (HRS) dkk melawan pemerintah Jokowi-JK semakin mengkhawatirkan. FPI terang-terangan mengancam kemajemukan dan sikap toleransi kehidupan berbangsa dan bernegara yang begitu penting bagi kelangsungan NKRI. HRS terang-terangan menunjukkan sikap anti Pancasila bahkan berani menghina Pancasila dan dengan lantang berteriak “revolusi” di depan publik menunjukkan bahwa FPI telah menjadi corong kepentingan kelompok takfiri.
Membaca perkembangan FPI ini harus membaca pula arah perkembangan global dan perkembangan di Timur Tengah. Radikalisme dan terorisme transnasional terus menguat seiring meningkatnya persaingan yang keras antara Rusia, Cina, Suriah, dan Iran di satu sisi dan Amerika Serikat dan sekutunya pada sisi lainnya, dalam merebut daerah-daerah yang kaya dengan energy alam yang tak terbaharui. Bahwa perkembangan itu ada benang merahnya dengan menguatnya gerakan radikalisme dan terorisme transnasional di Indonesia. Bisa jadi melalui oknum-oknum ulama yang punya akses ke ISIS yang berpangkalan di Turki.
FPI sebagai organisasi yang terbukti semakin radikal harus diwaspadai karena kedekatannya dengan JAD dan MMI yang menginginkan berdirinya khilafah. FPI harus dapat dikendalikan selagi para petinggi TNI dan Polri tetap berkomitmen sebagai garda terdepan penjaga Pancasila, penjaga keutuhan NKRI. Harus selalu diwaspadai, dan pada titik batas tertentu harus ditindak: dihancurkan atau dijinakkan dan dijauhkan dari alat kepentingan asing yang menginginkan Islam di Indonesia hancur karena saling bertengkar satu sama lain.
*****
Ilustrasi: