“Tahukah engkau siapa itu yang namanya Kundan?” tanya mama. Kulihat matanya bening karena linangan air mata. Bibir mama bergerak seakan ada kata-kata yang hendak disampaikannya namun terasa berat.
Pertanyaan mama membuat anganku kembali ke masa silam, kembali ke masa lalu di kota kecil tempat kelahiranku. Aku lahir di Pendopo Talang Ubi sekitar 50 tahun silam. Saat aku berumur 9 tahun, sering kudengar orang-orang di sekitarku menyebut Kundan, nama seorang wanita muda yang kurang waras ingatannya.
Sore itu kulihat ia lewat di depan rumahku. Aku hanya mengintipnya dari dalam pagar. Ramai anak-anak mengikutinya berjalan dari belakang. Ada yang melemparnya, ada yang meneriakinya gila, dan banyak lagi kelakuan anak-anak sebayaku yang mengganggunya. Mama selalu mengingatkan dan melarangku agar tidak ikut-ikutan mengganggu wanita itu. Maka aku hanya menyaksikan Kundan menangis karena banyak yang mengganggu, lalu ia marah, mengamuk, dan mengejar anak-anak itu hingga ke ujung Jalan Anggrek.
Keesok sorenya aku berpapasan dengannya di dekat lapangan bola. Aku berjalan pulang dari pasar, disuruh mama belanja gula. Kami berjalan berlawan arah, dan kali ini kulihat tidak ada anak-anak yang berjalan mengikutinya.
Tiba-tiba kulihat seorang lelaki tak kukenal menyergapnya tepat di depan mataku. Jarak kami hanya sekitar dua puluh meter, kulihat lelaki itu berniat tidak baik. Kundan terlihat meronta-ronta, bahkan berusaha menggigit tangan lelaki yang memeluknya dari arah belakang. Aku merasa iba melihatnya, spontan aku berteriak sekeras-kerasnya:”tolong tolong tolong ada orang jahat!”
Teriakanku ternyata didengar oleh dua lelaki separuh baya yang tengah mengambil rumput di balik semak samping lapangan bola. Melihat ada yang datang, lelaki itu segera melepaskan tubuh Kundan dan berlari menghindar.
“Pergi cepat, ke arah sana,” ujar kedua lelaki penolong itu kepada Kundan. Mereka menyuruh Kundan agar cepat-cepat ke pasar karena di sana sedang ramai orang. Kundan tampak berdiri kaku, matanya terlihat liar, bergantian menatap ke arahku dan ke arah kedua lelaki penolongnya.
Akhirnya dia berjalan juga. Ketika pas melewati diriku ia berhenti sejenak, entah apa yang dilihatnya pada diriku. Mata kami saling beradu, kulihat matanya begitu bening, tidak merah seperti biasanya. Tatapannya begitu mengesankan, ada getar-getar halus yang tak kumengerti dan membuatku merasa mengambang seketika. Tatapannya itu berhari-hari membayangi diriku, sehingga aku menulisnya menjadi sebuah puisi pendek. Mama rajin melatihku menulis puisi pendek, sehingga aku punya kebiasaan mencatat segala hal yang mengesankan kedalam puisi pendek seperti yang sering diajarkan mama.
Bergetar senja
Air mata nan bening
Di mata bunda
Kutulis puisi pendek itu setelah berhari-hari merenunginya. Ketika puisi itu kutunjukkan kepada mama, ia kaget dan bertanya:” boleh mama tahu hal yang membuat abang begitu terkesan?” Lalu kuceritakan hal sebenarnya. Mama terlihat terharu, namun ia tidak berkomentar.
Tahun demi tahun berlalu begitu saja, hingga akhirnya aku dan mama meninggalkan Pendopo beberapa bulan setelah meninggalnya papa akibat serangan jantung. Kami pindah ke Bandung, dan setelah sepeninggalnya papa, mama mengajar sebagai dosen di fakultas sastra. Sementara aku menempuh bangku SMP, mama kuliah lagi mengambil pascasarjana hingga mencapai Doktor. Ketika aku mulai menginjak bangku kuliah di tahun kedua, mama berhasil mendapatkan gelar Profesornya. Aku selalu bersama mama, hingga akhirnya kami berpisah setelah aku menikah dan bekerja di Jakarta.
Mama telah lama pensiun sebagai pegawai negeri, di usianya yang menginjak 75 tahun mama mulai sakit-sakitan. Hingga akhirnya ia menelponku agar menemaninya selama sakit. Aku punya firasat tidak enak atas permintaan mama kali ini. Kuputuskan cuti kerja, dan berembuk dengan istri bagaimana caranya agar aku bisa menemani mama. Akhirnya kami putuskan bersama, istri dan anak-anak tetap di Jakarta dan aku segera ke Bandung guna menemani mama yang sedang sakit.
Mama kembali bertanya kepadaku, “tahukah engkau siapa itu yang namanya Kundan?” ujarnya, kali ini dengan nada perasaan menyesal yang sangat mendalam. Hal ini membuatku heran, “ada apa dengan Kundan, mama?” ujarku penasaran.
“Kemarilah,”ujarnya, menyuruhku mendekat. Mama terlihat mengambil sesuatu dari dalam buku tebal yang paling sering dibacanya. “Masih ingat ini?” kata mama, sambil memperlihatkan secarik kertas yang terlihat mulai menguning. Sesaat kubaca, oh ternyata itu puisi pendek yang kutulis puluhan tahun silam. Aku mengangguk, “mama menyimpannya?”
“Benar nak, mama sengaja menyimpannya hingga puluhan tahun. Karena bagi mama inilah Haiku yang paling hebat yang pernah mama tahu,” jelasnya.
Mama terdiam beberapa saat, lalu kemudian katanya: “ Haiku ini keluar dari dalam relung jiwamu nak, ada semacam ruh yang menuntunmu ketika menuliskannya. Mama hanyalah wanita yang telah mengasuh dan membesarkanmu hingga sekarang. Namun wanita yang melahirkanmu ke dunia ini adalah Kundan…engkau telah mengetahuinya tanpa ada orang yang memberitahumu…” mama menangis, dan tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Kami saling berpelukan, sama-sama menangis.
Akhirnya kusadari bahwa hal ini telah menjadi beban mental yang sangat berat bagi mama, sulit baginya untuk terus merahasiakan perihal ibu kandungku. Mungkin mama menyadari bahwa usianya tidak begitu lama lagi sehingga ia harus mengatakannya sebelum ajal tiba.
“Maafkan mama nak, karena telah merahasiakan hal ini selama puluhan tahun,” ujarnya, melepaskan beban mental yang telah menghimpitnya selama ini. “Mama tetap mamaku juga, Tuhan yang mengatur semua ini. Rasa hormat tidak berkurang, bahkan semakin tinggi atas kebaikan mama mengungkapkan rahasia siapa ibu yang telah melahirkanku ke dunia. Percayalah, anakmu ini bersyukur atas anugrah dua ibu yang diberikan Tuhan bagi hidupku.”
Mama terlihat lega setelah mendengar tanggapanku. Wajahnya terlihat berseri-seri. Aku memeluknya, dan mencium keningnya. “Sekarang saatnya mama harus pergi, jaga anak istrimu baik-baik,” ujarnya berbisik.
Aku terkejut, segera kutatap wajahnya. Nafasnya terlihat mulai tidak teratur. Segera kuhubungi perawat jaga di rumah sakit. Upaya medis secara maksimal telah dilakukan namun yang namanya ajal tidak akan maju atau mundur barang sedetikpun. Akirnya mama meninggal dunia dalam bimbinganku, saat ia mengucapkan kalimah tauhid, hingga akhir nafasnya.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H