Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fenomena Teman Ahok dan Deparpolisasi, Siapa yang Salah?

9 Maret 2016   00:36 Diperbarui: 9 Maret 2016   00:50 1254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena teman Ahok, jangan cuma lihat dari sisi 5 orang anak muda yang berumur dua puluhan tahun belaka, tetapi lihat juga dari sisi gagasan atau ide yang mendasarinya sehingga berhasil mendapatkan sambutan dan dukungan yang relatif luas dari warga Jakarta. Rasanya bukan hanya warga Jakarta yang mendukung ‘teman Ahok’, masyarakat Indonesia yang peduli dengan munculnya pemimpin yang tegas, berani, jujur, dan mampu bekerja bagi kemajuan bangsanya jelas ikut mendukung gagasan teman Ahok.

Fenomena teman Ahok muncul terkait dukungan bagi Ahok guna maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017.  Dukungan dari mereka merupakan dukungan bagi pencalonan Ahok melalui jalur independen. Ketika akhirnya Ahok memutuskan akan mencalonkan diri melalui jalur independen tidak serta merta hanya sebab dari desakan teman Ahok atau sebab formalitas di KPU belaka.

Harus dilihat pula dari sisi bagaimana Ahok berpikir ketika mengambil tindakan mundur dari Gerindra.  Budaya balas jasa ala Partai Politik sepertinya bertentangan dengan suara hati nurani Ahok. PDIP yang tadinya diharapkan Ahok akan mengusungnya ternyata tidak cepat bereaksi karena terkendala formalitas dan mekanisme partai.  Ahok bersikap atas dasar intuisi dan pengalamannya, dan juga atas dasar idealismenya.

Citra buruk partai politik telah berkembang sedemikian rupa di benak masyarakat. Banyak contoh yang bisa disebutkan bagaimana buruknya kelakuan para politisi Senayan dan juga anggota DPRD DKI Jakrta yang membikin rakyat marah dan kecewa.  Kasus Setya Novanto ketika disidangkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa menjadi salah satu buktinya.  MKD tiba-tiba menerima pengunduran diri Setya Novanto tanpa menjatuhkan vonis terhadapnya,  secara terang benderang hal ini adalah akal-akalan Parpol dalam menyikapi desakan masyarakat yang rindu dengan kejujuran pemimpinnya.

Begitu juga dengan kegaduhan yang terjadi ketika upaya revisi UU KPK tengah bergulir di DPR.  Begitu juga dengan kasus dana siluman Proyek UPS yang terkait dengan DPRD DKI Jakarta, dan juga perilaku memuakan yang diperlihatkan Lulung dan komplotannya dalam memojokan Ahok karena kehendak syahwatnya digagalkan oleh Ahok. Masih banyak lagi kasus-kasus lain yang masih dalam ingatan masyarakat, dan betapa buruknya citra partai politik yang ada dibenak masyarakat.

Penyelenggaraan kehidupan bernegara dibangun melalui partai politik, memang betul. Sewajarnya rekruitman calon pemimpin dilakukan oleh partai politik.  Namun nyatanya rakyat tidak buta bahwa politik dagang sapi berlaku dalam proses rekruitmen itu. Ada mahar politik dan janji-janji tertentu yang harus dipenuhi oleh si calon walikota/bupati/gubernur dan bagi seorang calon presiden sekali pun. Kancah perpolitikan di Indonesia telah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa terjun dan berjaya di dalamnya.   

Maka tidaklah mengherankan bila korupsi marak menjangkiti para politisi di Indonesia, dari daerah hingga ke pusat. Tanyakanlah kepada para politisi yang duduk di DPR dan DPRD, seberapa banyak uang yang harus mereka investasikan agar bisa duduk di bangku dewan, dan bagaimana caranya mereka mengembalikan investasi itu berikut keuntungannya?

Fenomena teman Ahok yang menggelinding dan mendapatkan sambutan dari masyarakat luas harus disikapi dengan bijak oleh seluruh pimpinan partai politik. Bahwa rakyat telah merasa muak dengan sikap manipulatif dan koruptif yang diperlihatkan oleh kader-kader partai politik selama masa reformasi ini. Indonesia langka dengan kader-kader politik yang berani, tegas, jujur,  dan sanggup bekerja dengan hati nuraninya dalam memajukan bangsanya sendiri.  Rakyat tidak melihat retorika, tetapi rakyat melihat bagaimana sikap mereka secara individu dan kolektif dalam mendengar dan menyikapi aspirasi rakyat.

Fenomena teman Ahok harus dicermati sedini mungkin dan harus disikapi dengan bijak agar arus senyap reformasi politik ini tidak menjadi gerakan delegitimasi partai politik atau deparpolisasi yang masif dan ditunggangi oleh kekuatan yang menginginkan Indonesia chaos kembali.

Tokoh-tokoh politik dan elit parpol harus jauh lebih bijak dan lebih mengerti dengan keinginan rakyatnya.  Rakyat mulai bosan dan sadar bahwa selama ini mereka lebih banyak berfungsi sebagai kuda tunggangan bagi para politisi rente, politisi korup, dan negarawan-negarawan yang tidak selaras antara ucapan dan tindakannya!

*****

ilustrasi

[caption caption="Sumber Ilustrasi: Kompas.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun