Kata “Papa minta saham”, begitu populer dikalangan Nitizen. Kata yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Jokowi itu bermakna bahwa ada pejabat yang minta saham ke Freeport. Kasus Papa minta saham terkuak dari rekaman percakapan antara Maroef Syamsoeddin (MS), dengan Setya Novanto (SN), dan seorang pengusaha Muhammad Riza Chalid (MR). Banyak yang bertanya-tanya, percakapan bagian mana yang menyebutkan adanya permintaan saham oleh SN dan MR? Siapa saja Papa (pejabat) yang minta saham ke Freeport berdasarkan rekaman tersebut?
Permintaan tidak disampaikan secara gamblang namun melalui kata-kata halus, dan terselip rapih dalam percakapan yang panjang dan berliku-liku, percakapan yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu.
…….
SN: Saya itu pak, sudah ketemu presiden, waktu sampai ada 5 pimpinan negara lainnya. Ada ketua MA, Ketua KY, Ketua MK. Saya bilang Pak, bapak ke Papua. Iya kata presiden. Padahal di sana gak ada yang jemput. DPRDnya, bupatinya, gubernurnya. Kesel juga. Soal PSSI macam-macam. Saya bilang bikin itu saja istana di papua. Setuju pak, kata presiden. Masak ada Tampak Siring, Bogor. Masak di sana tidak ada. Saya sudah lihat di sana ada tanah kosong, depannya laut. Jadi secara politis ke depan pasti ke sana. Semua manggut-manggut. Lagi seneng dia. “Freeport itu saya sudah ketemu Jim Bob, Dirutnya, saya minta dipertimbangkan. Waktu itu dengan menteri itu, soal perpanjangan itu kan DPR minta untuk duduk. Sedangkan sekarang kan ada tiga hal, kemarin menteri ESDM menemui saya di Surabaya, khusus bicara ini. Beliau bicara tiga hal. Satu, penerimaan minta ditingkatkan. Kedua adalah privatisasi, permintaan itu 30 Juta untuk 51%. Mana mungkin saya bilang gitu. Ketiga adalah pembangunan smelter. “Oh oke Pak Ketua. Kalau berhenti itu soal penerimaan saya gak sependapat Pak Ketua. Karena kita itu paling hanya nerima 7-8 triliunlah. Tapi kita keluarkan dananya untuk di Papua, Otsus itu, kita 35 T. Ndak imbang”. Tapi kan itu udah dibantu CSR. “Iya tapi tidak cukup Pak ketua”. Kita besar sekali.
Kedua kalau smelter. Kalau di sana bangun smelter di sana lebih banyak rawa. Jadi kuatirnya waktu. Kalau lihat gitu saya lihat di Gresik ada smelter kecil yang tinggal diterusin. Terus di sana juga ada pabrik semen juga untuk pupuk yang penting kan pakai dana sendiri, tidak melalui dana perbankan kita. “Kita harus paksa supaya cepat-cepat dibangun”. Ya kalau gitu. “Habis itu baru Timika, Pak Ketua”. Yang mana duluan Pak. Dia diam saja. “Yang ketiga, soal apa Pak Ketua”. Soal penyerahan soal sahamnya itu, kan sudah 30 % diminta 51%. Itu tidak mungkin Pak. Ini kan sudah berbagi dengan daerah yang 250 ribu Ha itu, susah juga. Kebayang juga dengan kabupaten lain. Ini tidak mungkin. Terus dia diam saja. Pak Luhut cuma bilang: kita runding. Pas saya makan, presiden samperin saya. “Ini kan Pak Luhut. Itu apa Pak Luhut sudah bicara belum”. Oh iya sudah Pak, Pak Luhut yang banyak memberikan pendapat. Bagusnya kalau bisa segera. Ngobrol-ngobrol itu. Oh iya sekarang Pak karena sekarang sudah waktunya. Lalu saya pulang. Saya mau rundingan dengan sama Pak…. Jangan-jangan ini karena yang dulu ada keributan antara anak buahnya Pak Luhut, Si Darmo dan si siapa itu, Sudirman Said diekspos. Ini minta diklirken. Saya akan ngomong ke Pak Luhut. Ya udah. Makanya perlu ketemu itu. Hahahahaa
MR: Jadi gini Pak. Ini bahan dari Pak Luhut dan timnya. Sudah baca?
MS: Perpres sudah baca yang percepatan pembangunan ekonomi Papua.
**********
Materi pembicaraan melebar ke soal smelter, lalu MR mengarahkan pembicaraan ke saham PLTA.
MR: Soal saham itu ada pemikiran, PLTA.
MS: PLTA? Yang mau memiliki sahamnya siapa Pak?