Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mengapa Lahan Gambut Mudah Terbakar?

2 November 2015   20:19 Diperbarui: 2 November 2015   20:32 4214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengertian dan Fungsi Lahan Gambut

Gambut adalah jenis lahan yang terbentuk dari akumulasi sisa tumbuhan yang setengah membusuk atau mengalami dekomposisi tidak sempurna, mengandung bahan organik yang tinggi, biasanya digenangi air sehingga kondisinya anaerobik. Kedalamannya bisa mencapai lebih dari 10 meter. Lazimnya di dunia bahwa disebut sebagai lahan gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah melebihi 30% dan ketebalannya lebih dari 50 cm. Hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan organik lebih dari 65%. Lahan gambut banyak dijumpai di daerah-daerah jenuh air seperti rawa, cekungan, atau daerah pantai.

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia (Subagya, 1998; Wibowp dan Suyatno, 1998). Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35% terdapat di Pulau Sumatera. Sekitar 5,7 juta hektar atau 27,8% terdapat di Pulau Kalimantan. Lahan gambut merupakan bagian dari sumberdaya alam yang berfungsi sebagai pelestari sumber daya air, peredam banjir, pencegah perembesan air laut, dan karena kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon berfungsi pula sebagai pengendali iklim. Di atas lahan gambut terdapat atau tumbuh berkembang secara alami keanekaragaman hayati yang secara karakteristiknya tidak sama antar daerah atau pulau.

Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Manakala kondisinya sesuai dan setelah melewati periode waktu geologis gambut dapat berubah menjadi batubara. Sekitar 60% lahan basah di dunia adalah gambut, dan sekitar 7% dari lahan itu telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian dan kehutanan.

Pada kondisi alami lahan gambut tidak mudah terbakar, karena sifatnya yang menyerap dan menahan air secara maksimal. Sehingga pada musim hujan dan musim kemarau, di daerah setempat, tidak terjadi perbedaan kondisi yang ekstrim. Ketika keseimbangan ekologisnya terganggu akibat pemanfaatannya yang kurang perhitungan berdampak pada perubahan iklim dan berdampak pula pada perubahan pola cuaca.

Pada kondisi alami, gambut menyimpan banyak air di saat musim hujan, dan melepaskan air secara perlahan-lahan pada saat musim kemarau. Ketika keseimbangan ekologisnya terganggu, kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan air menjadi tidak maksimal. Pada musim kemarau lahan gambut akan mengalami kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar.

 

Konservasi dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Di banyak area di Indonesia, ada rencana untuk mengubah sebagian besar lahan gambut menjadi perkebunan dan lahan hutan tanaman industri. Ketika lahan gambut dipergunakan untuk keperluan  tersebut maka air harus dikeringkan, pepohonan alami yang tumbuh di atas lahan itu harus ditebang dan gambut harus digali karena untuk tanaman Kelapa Sawit,  gambut yang tebal akan menyebabkan pohon mudah tumbang. Proses ini menyebabkan banyak karbon dilepaskan ke atmosfer dan memperburuk dampak perubahan iklim. Lebih-lebih lagi bila pembukaan lahan baru dilakukan dengan cara membakar agar bisa cepat ditanami dan biayanya relatif lebih murah.

Gambut merupakan bahan organik yang mengalami dekomposisi tidak sempurna, ketebalan lapisan bahan organik itu minimal 50 cm bahkan dapat mencapai kedalaman lebih dari 10 meter. Ketika musim kemarau, permukaan lahan gambut itu terbakar atau sengaja dibakar maka api menjalar ke bawah permukaan tanah dan sulit dideteksi, serta menimbulkan asap tebal. Lahan gambut yang terbakar sulit dipadamkan sehingga berlangsung lama. Api yang membakar lahan gambut baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.

Ada dua kelompok pemikiran para ahli tentang cara pemanfaatan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan.  Kelompok pertama berpendapat lahan gambut dapat dimanfaatkan dengan merubah ekosistemnya: air yang menggenang dialirkan (kanalisasi), pH tanah (3,5 – 4,0) yang memiliki keasaman tinggi diolah ditingkatkan mendekati pH 7, lalu lahan tersebut ditanami dengan Kelapa Sawit atau menjadi lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mana ini berarti harus ada proses land clearing. Proses ini dapat menyebabkan banyak karbon terlepas ke atmosfir dan mempengaruhi rumah kaca, mempengaruhi cuaca dan iklim global.

Kelompok kedua berpendapat bahwa lahan gambut harus dimanfaatkan dan dikelola sesuai dengan ekosistimnya. Tanaman menyesuaikan ekosistim gambut, bukan ekosistem gambut yang harus disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.. Pemikiran ini mengarah pada perlunya pemetaan lahan gambut secara keseluruhan di suatu wilayah atau pulau, lalu disusun sebuah rencana tata ruang wilayah, konservasi dan pemanfaatan, serta perancangan zona adaptasi.  

 

Perlunya Pembangunan Berbasis Lingkungan Hidup

Kedua kelompok pemikiran para ahli ini harus diakomodir oleh pemerintah, pembangunan berbasis lingkungan hidup harus menjadi prioritas utama bagi daerah-daerah yang memiliki lahan gambut yang luas. Tidak ada pilihan lain, pembangunan berbasis ekosistem yang ada harus dijalankan guna menghindari kerusakan lingkungan yang lebih parah, berdampak perubahan iklim dan perubahan pola cuaca yang berpotensi menimbulkan bencana yang lebih besar lagi. Mengapa lahan gambut begitu mudah terbakar? Karena kita masih separoh hati mengelola dan menata lingkungan hidup kita!

Pembangunan berbasis lingkungan hidup juga dibutuhkan di seluruh daerah di Indonesia. Masalah lingkungan hidup kita bukan cuma soal kebakaran hutan, tetapi juga mencakup: amdal, kerusakan berat di area konsesi tambang, pembangunan dan perluasan kota, sungai-sungai besar yang kian mendangkal, hingga mengamankan ketersedian air dalam tanah yang kian mengkhawatirkan. Mengantisipasi perkembangan ke depan, diperlukan keberadaan Kementrian Lingkungan Hidup yang berdiri sendiri, bukan cuma sebuah Kementrian Negara. Tugas-tugas yang maha berat itu membutuhkan kordinasi dengan banyak  departemen: pertanian, kehutanan, perindustrian, pekerjaan umum dan perumahan rakyat.

*****

Referensi tulisan:

https://id.wikipedia.org/wiki/Gambut

http://www.ifacs.or.id/id/climate-change-forests-and-us/peatland/

http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusikami/adaptasi/forest_fire.cfm

http://indonesia.wetlands.org/Infolahanbasah/PetaSebaranGambut/tabid/2834/language/id-ID/Default.aspx

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun