Namun, bukan hanya disiplin yang membuat saya terkesan. Kebersamaan yang terjalin di pesantren itu begitu kuat. Mereka saling mendukung, berbagi, dan bekerja sama, tanpa memandang latar belakang. Hal ini mengingatkan saya akan semboyan bangsa kita: Bhinneka Tunggal Ika.
Selama tiga hari, kami tak hanya menjadi tamu. Kami menjadi bagian dari mereka, walau hanya sejenak. Kami berbincang tentang mimpi, saling mengenalkan budaya masing-masing, dan bahkan tertawa bersama saat bermain di halaman pesantren.
“Bulan di langit, tinggi tak tergapai,
Tapi sinarnya menyentuh bumi yang gelap.”
Puisi ini, meski pendek, terasa begitu dalam. Dalam perbedaan, kita sering kali lupa bahwa pada akhirnya, kita semua saling membutuhkan. Kebersamaan yang terjalin di pesantren itu mengingatkan saya bahwa dinding perbedaan hanya ada jika kita membangunnya sendiri.
Refleksi di Tengah Alam
Lingkungan pesantren yang asri juga menjadi tempat refleksi yang sempurna. Kabut pagi yang menyelimuti sekitar menciptakan suasana yang magis, seolah mengundang untuk merenung. Saya teringat pada salah satu ajaran Ignatius Loyola: “Carilah Tuhan dalam segala hal.”
Di sana, di tengah alam dan kesederhanaan, saya merasa lebih dekat dengan hal-hal yang penting: rasa syukur, kebersamaan, dan makna hidup. Kadang, kita terlalu sibuk dengan rutinitas sehingga lupa berhenti sejenak untuk merenungkan tujuan kita.
Belajar Menjadi Manusia yang Lebih Baik
Pengalaman ini juga mengingatkan saya pada apa yang ditulis Fritjof Capra dalam bukunya, The Turning Point. Ia berkata bahwa keberagaman adalah fondasi peradaban yang kuat. Di pesantren ini, keberagaman bukan sesuatu yang membuat kami saling menjauh, tetapi justru mendekatkan kami.
Kembali ke Jakarta, saya membawa pelajaran besar dari ekskursi ini. Saya belajar bahwa hidup tidak hanya tentang apa yang kita dapatkan, tetapi juga tentang bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Saya belajar bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kesempatan untuk saling melengkapi.