Tuntutlah ilmu setinggi langit, carilah ilmu hingga ke negeri Cina.
Ungkapan itu rasanya sudah sering kita dengar sejak masih berusia kecil hingga sekarang. Bagi sebagian orang, menuntut ilmu hingga mencapai jenjang pendidikan tertinggi adalah sebuah impian. Tak sedikit yang berhasil mewujudkannya. Ada yang berhasil menyelesaikan pendidikan S3 di dalam negeri, adapula yang berhasil menyabet gelar tersebut hingga sampai ke luar negeri. Sebuah prestasi yang membanggakan tentunya.
Ngomong-ngomong soal gelar doktor yang terbilang prestisius di Indonesia, saya baru tahu kalau berdasarkan data Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) lewat situs Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti), ternyata jumlah lulusan S3 khususnya dosen bergelar doktor di Indonesia hanya 10,6% dari total jumlah dosen. Angka itu masih amat jauh dari target pemerintah yang mengharapkan paling tidak 20% jumlah doktor yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan sumber daya manusia di Indonesia.
Segitu pentingnya pemerintah menaruh perhatian pada peningktatan angka doktor di Indonesia?
Jelas penting. Kalau dibandingkan dengan negara tetangga di Asia saja, dengan rasio perbandingan per satu juta penduduk, Indonesia hanya punya 143 doktor. Malaysia bahkan punya 509 doktor dari setiap satu juta penduduknya atau India dengan 1.410 doktor dalam setiap satu juta penduduknya. Jepang? jangan heran kalau negara ini punya 6.438 doktor! Minimnya tenaga dosen bergelar doktor tentu berpengaruh pada kualitas sistem pendidikan di Indonesia. Harapannya, jika tenaga pendidik memiliki kualifikasi yang baik, tentu akan berpengaruh pada peserta didik (siswa/mahasiswa) sehingga diharapkan akan lahir pula lulusan yang berkualitas.
Lantas mengapa banyak dosen yang tidak ingin mengejar gelar doktor?
Banyak motif dan alasannya. Yang paling menyita perhatian tentu soal biaya sekolah yang tergolong tidak sedikit, apalagi kalau punya impian untuk mengambil doktor di luar negeri. Meskipun saat ini banyak sekali peluang beasiswa yang ditawarkan bukan hanya dari lembaga donor, kampus maupun pemerintah Indonesia, tapi persyaratan yang ketat kerap menciutkan nyali dari pendaftar beasiswa. Faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah pertimbangan keluarga. Faktor ini Indonesia banget! Keluarga selalu jadi pertimbangan khususnya kalau sudah menikah dan punya anak. Memboyong serta keluarga untuk berkuliah di luar negeri pasti harus memikirkan banyak hal termasuk soal adaptasi dan pengeluaran keuangan. Faktor ini juga yang rasanya mempengaruhi semangat untuk melanjutkan ke jenjang doktoral. Faktor terakhir versi saya adalah motivasi untuk keluar dari zona nyaman. Dari semua faktor penghambat seseorang untuk mengambil gelar doktor, yang paling berpengaruh adalah faktor diri sendiri. Seberapa besar diri ini ingin mencapainya dan memperjuangkannya. Mampukah kita bertahan keluar dari zona nyaman dan memulai segalanya dari 0 lagi di negara orang?
Nah bagi rekan-rekan yang memang berminat untuk melanjutkan pendidikan S3 ke luar negeri, khususnya Australia, Monash University kebetulan menyelenggarakan kegiatan Doctoral Information Day yang dilaksanakan pada Sabtu, 24 September 2016 pukul 12-17.00 WIB bertempat di The Stellar Room Pullman Hotel Thamrin Jakarta Pusat. Informasi selengkapnya bisa dilihat ditautan ini www.monash.edu.au/indonesia-information-day
- Peserta akan diberikan berbagai pemahaman tentang program doktoral, konsultasi untuk membahas pilihan program studi, proposal penelitian serta langkah memperoleh supervisor penelitian
- Peserta dapat mengikuti sesi sharing alumni bersama para lulusan doktor dari Monash University yang berasal dari Indonesia tentang berbagai suka-duka yang mereka lalui untuk meraih gelar PhD.
Nah menariknya, kisah-kisah inspiratif mengejar gelar doktor ini dibukukan loh oleh para mahasiswa Indonesia di Monash University menjadi sebuah buku berjudul "Berlayar". Semoga informasi ini bermanfaat dan memicu semangat rekan-rekan yang ingin mengambil program doktoral dalam waktu dekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H