Mohon tunggu...
Bengi Muthmainnah
Bengi Muthmainnah Mohon Tunggu... Dokter - Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat USK

Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat USK

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Belajar dari Banyumas dalam Mengelola Sampah

24 September 2024   08:00 Diperbarui: 25 September 2024   09:16 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sampah yang bisa didaur ulang. (Sumber: SHUTTERSTOCK/PHOTKA via kompas.com)

Aktifitas masyarakat yang masih dilakukan sampai hari ini adalah membakar sampah rumah tangga di lingkungan rumah. Membakar sampah menjadi hal yang dianggap lumrah bagi sebagian orang dengan maksud ingin menghilangkan sampah. 

Akan tetapi, alih-alih menyelesaikan permasalahan sampah, tindakan membakar sampah justru menyebabkan banyak efek negatif. Tidak hanya memberi dampak buruk terhadap lingkungan sekitar, tetapi juga memberikan dampak buruk bagi kesehatan fisik.

Adapun dampak terhadap lingkungan adalah tercemarnya udara dan tanah akibat kandungan zat kimia yang terdapat didalam sampah yang menyebar di udara dan tanah karena proses pembakaran. 

Udara yang tercemar juga membahayakan bagi makhluk hidup disekitar tempat pembakaran seperti manusia atau masyarakat sekitar, hewan, bahkan tanaman. 

Selain itu sisa dari pembakaran yang mencemari air dan tanah dapat memasuki rantai makanan manusia melalui makanan dan hewan ternak.

Asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah bisa mengganggu ketentraman masyarakat luas. Residu asap dan bau dapat masuk ke dalam rumah dan juga dapat memberikan efek bagi kesehatan orang lain. 

Orang yang terpapar polutan lewat udara bisa mengalami iritasi pada saluran pernapasan, bahkan bisa menyebabkan infeksi paru-paru (pneumonia).

Beberapa bahan kimia berbahaya yang dilepaskan selama pembakaran adalah yang berasal dari sampah plastik (dioksin). Bahan kimia lain yang diepaskan adalah benzo(a)pyrene (BAP) dan polyaromatic hydrocarbon (PAH) yang terbukti dapat menyebabkan kanker. 

Membakar kayu dan daun yang berguguran dapat menghasilkan asap yang mengandung uap dan partikel yang akan menghasilkan berbagai jenis gas seperti karbon dioksida dan karbon monoksida.

Adapun dampak bagi kesehatan yang paling sering adalah gangguan pernapasan akut hingga penyakit kronis. 

Sekilas tindakan menghilangkan sampah dengan cara membakar mungkin terlihat ringkas dan mudah, akan tetapi efek negatif akibat paparan yang berulang dengan polutan yang dihasilkan dari pembakaran sampah secara terus menerus dan dalam jangka panjang akan memberikan efek yang membahayakan.

Banyak masyarakat yang mengira bahwa dengan membakar sampah di sore hari bisa mengusir nyamuk. Padahal pengusiran nyamuk belum tentu ada hubungannya dengan asap dari sampah yang dibakar. 

Untuk mengatasi masalah yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat ini, perlu dilakukan tindakan persuasif dan preventif oleh dinas atau petugas berwenang yang terkait.

Harus ada upaya serius untuk mengarahkan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik. Masyarakat sudah semestinya diperkenalkan dengan Gerakan 4R: 

Replace: mengganti barang sekali pakai dengan barang yang lebih tahan lama dan ramah lingkungan.

Reduce: mengurangi penggunaan barang.

Recycle: mendaur ulang sampah yang bisa didaur ulang.

Reuse: menggunakan Kembali barang yang sudah ada.

Hal sederhana yang mungkin bisa menjadi awal untuk itu adalah dengan gerakan atau upaya memilah sampah berdasarkan jenisnya. 

Pengelompokan sampah berdasarkan sifatnya ada 3 jenis yaitu: sampah organik, anorganik dan sampah bahan berbahaya beracun (B3). 

Setelah dipisahkan, kemudian akan diterminasi sesuai masing-masing jenis sampah. Sampah organik bisa diolah untuk dijadikan pupuk organik sedangkan sampah anorganik dan limbah B3 lainnya nanti akan dikumpulkan oleh petugas dari DLHK3 (Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota) untuk dibuang dan diterminasi di TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

Hal lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah membiasakan pola hidup sehat dengan mengarahkan masyarakat untuk menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan (Replace), seperti memanfaatkan enceng gondok, bambu dan jerami sebagai bahan untuk membuat tas. 

Kemudian, mengurangi pencemaran (Reduce) dengan meminimalkan produksi sampah seperti membawa tas belanja sendiri, Kemudian membawa tempat air sendiri seperti tumbler sehingga bisa digunakan secara berulang tanpa harus dibuang. 

Begitu juga gerakan meminimalisir penggunaan sedotan plastik dan mengganti dengan sedotan berbahan non plastik dan bisa digunakan kembali (Reuse). 

Selanjutnya setelah sampah dipisahkan atau dikelompokkan berdasarkan jenisnya, Kemudian dilakukan upaya mendaur ulang sampah yang ada (Recycle), seperti menjadikan sampah organik sebagai pupuk kompos atau menjadikan sampah plastik sebagai alat yang punya nilai guna untuk fungsi yang sama dan mendaur ulang limbah cair dengan mengalirkan ke sumur resapan.

Jika masyarakat bisa menerapkan pola hidup seperti di atas, hal ini akan sangat mengurangi produksi sampah khususnya sampah plastik. Sehingga upaya pengelolaan sampah yang salah kaprah seperti membakar sampah sembarangan bisa diminimalisir.

Belajar dari prestasi yang didapatkan oleh sebuah kota di Jawa Tengah, yakni Banyumas. Pada tahun 2023 lalu, kota Banyumas berhasil menjadi kota terbaik di ASEAN dalam hal pengelolaan sampah dengan menerapkan zero waste to landfill. 

Dengan menerapkan teknik ini mereka tidak lagi bergantung pada TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Mereka mengandalkan 29 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPSP) untuk pengelolaan sampah sehari-hari.

Banyumas bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk menghadirkan beragam fasilitas pendukung demi berjalannya program zero waste to landfill. 

Beberapa fasilitasnya antara lain pengadaan mesin pencacah sampah organik, mesin pres plastik, pengadaan ruang maggot, biopond maggot, pengadaan mesin conveyor, dan sarana pengelolaan sampah.

Sampah dipilah, sampah organik diolah menjadi pakan maggot sedangkan sampah anorganik dicacah dan dijual sebagai bahan baku produk yang ada nilai guna dan ekonomis. Untuk sampah yang sulit diolah kembali akan ditangani dengan metode RDF (Refused Derived Fuel). 

Selanjutnya, sampah sisa akan diolah di Tempat Pembuangan Akhir Berbasis Lingkungan dan Edukasi (TPA BLE). Pembangunan TPA BLE bertujuan untuk mengubah sampah residu menjadi barang yang memiliki nilai guna, dan menggunakan proses pirolisis untuk menghabiskan sampah.

Jika kita ingin menerapkan zero waste to landfill ini diperlukan biaya yang tidak sedikit, dan disini juga perlu peran dari pemerintah setempat untuk bisa mengeluarkan peraturan masalah iuran pengelolaan sampah dengan tarif yang sesuai. 

Selain itu peran perangkat desa juga sangat dibutuhkan untuk mengedukasi serta memantau aktivitas tidak membakar sampah sembarangan. Serta peran pembuat kebijakan untuk sanksi tegas terhadap aksi perusakan lingkungan hidup.

Tidak berhenti disitu, upaya edukasi sejak dini terhadap anak-anak dan remaja juga sangat diperlukan untuk membentuk generasi yang cinta lingkungan dan merubah kebiasaan buruk masyarakat. 

Hal ini perlu dilakukannya monitoring dan evaluasi terus menerus supaya masyarakat bertumbuh menjadi manusia yang berperilaku lebih baik, agar terciptanya tempat tinggal lingkungan yang asri, sehat dan jauh dari asap.

Bengi Muthmainnah
Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun