Hari itu, Sabtu 1 Desember 2019, jarum jam hijau ditangan kananku menunjukkan pukul. 08.30 WIB. Aku bersama rekan kerja bersiap berangkat menuju Desa Babakan Madang, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.Â
Kemi bermaksud melakukan wawancara dengan Nenek Mumun (63) yang hidup sederhana ditemani cucu kesayangannya, Jajang (12), yang mengidap penyakit hidrosefalus. Setelah menempuh sekitar 2,5 jam perjalanan, tanpa hambatan berarti akhirnya kami bertemu dengan Nenek Mumun. Â
Dengan mengenakan kerudung lusuh dan pakaian seperti daster, berwarna merah muda, Mumun menyambut kedatangan kami dan mempersilakan kami duduk di kursi kuno berbahan jati yang sedikit reot.Â
Dengan senyum dari wajah yang mulai mengeriput, Â Mumun menceritakan bagaimana dirinya setiap hari harus bangun pagi-pagi berpacu dengan terbitnya mentari di ufuk timur, untuk menyiapkan sarapan untuk Jajang. Meskipun tenaga melemah, nafas sedikit terengah-engah, namun Mumun tetap bersemangat melewati hari demi hari mendampingi Jajang.
Berteman dua cangkir teh tubruk panas yang disuguhkan kepada kami, Mumun bercerita perihal kondisi Jajang yang menderita hidrosefalus. Sembari tampak menerawang, Mumun berkisah bahwa Jajang telah menjadi tanggungan hidupnya sejak berusia 3 bulan. "Jajang dititipin sama orang tuanya.Â
Mungkin malu liat Jajang  kayak gini (mengidap hidrosefalus)," kata Mumun. Nampak kelopak matanya yang sayu itu berkaca-kaca ketika mengisahkan bagaimana kedua orang tuanya meninggalkan Jajang ketika itu.
Sesekali Mumun mengajak bicara Jajang menawarinya sarapan. "Jang, mau sarapan?", tanya Mumun kepada cucunya yang kemudian dibalas dengan gelengan kepala Jajang, tanda menolak.Â
Sambil melanjutkan ceritanya, ditemani cahaya mentari yang semakin terik, Nenek Mumun mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak menyangka kalau kedua orang tua Jajang tega meninggalkan darah dagingnya karena penyakit yang diderita Jajang. "Saya nggak ngerti kenapa orang tua Jajang nitipin Jajang tapi nggak pernah balik balik lagi ngejemput. Pan itu anaknya sendiri," tuturnya.
Air mata Mumun tak bisa ditahan. Sesekali tangan kanan Mumun yang mulai keriput, menyeka air matanya. Namun Mumun tetap berusaha tersenyum ketika dirinya setiap hari harus memandikan dan menyiapkan beberapa suap nasi beras merah dan susu untuk Jajang.Â
"Jajang setiap hari cuma bisa tidur, trus kalo mandi nenek gendong. Soalnya Jajang ga bisa jalan sendiri," katanya, sambil duduk disamping Jajang yang terbaring tak berdaya di kamar tidurnya.
Apabila Jajang dalam kondisi normal seperti anak-anak seusianya, saat ini tentunya sudah duduk di bangku SMP. Meskipun hidup dengan keterbatasan, Jajang masih bisa berkomunikasi dengan Mumun.Â