Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) merupakan salah satu produk hukum yang digadang-gadang akan memberikan angin segar bagi penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Indonesia. Banyak dukungan yang diberikan kepada RUU Perampasan Aset ini mulai dari kalangan mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), hingga akademisi. Meskipun begitu RUU Perampasan Aset ini bukan tanpa cacat.Â
Banyak kecacatan yang ada di dalam RUU Perampasan Aset yang justru berpotensi membuat hukum pembuktian tipikor di kedepannya akan menjadi bermasalah dan tidak jelas. Hukum pembuktian sendiri merupakan hukum yang bertujuan untuk menjadi dasar penilaian dari pengambilan putusan di persidangan.Â
Melalui proses pembuktian yang diatur dalam hukum pembuktian hakim dapat menentukan keyakinannya yang kemudian akan menjadi sebuah putusan. Hukum pembuktian yang bermasalah dan tidak jelas justru pada akhirnya mempersulit hakim untuk mengambil putusan untuk menyelesaikan perkara. Â
Problematika permasalahan dan ketidakjelasan pembuktian di RUU Perampasan Aset terletak pada ketentuan mengenai perampasan aset itu sendiri yang bertentangan dengan hukum pembuktian dan hukum beracara dari tipikor yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Â
Salah satu permasalahan yang timbul dalam hukum pembuktian tipikor akibat adanya ketentuan perampasan aset ini adalah terkait dengan adanya sistem pembuktian terbalik murni di dalam hukum pembuktian tipikor. Sistem pembuktian terbalik murni berlaku bagi kasus gratifikasi diatas 10 juta yang diatur dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi "yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;"Â dan juga ketentuan mengenai penjatuhan kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan seluruh harta bendanya yang diatur dalam Pasal 37 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi "Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan." Ketentuan sistem pembuktian terbalik murni ini bertujuan untuk menjatuhkan putusan perampasan aset terhadap harta kekayaan terdakwa.Â
Dalam RUU Perampasan Aset telah diatur bahwa perampasan aset bukanlah putusan pengadilan yang membutuhkan pembuktian tetapi tindakan yang dilakukan selama proses pemeriksaan pendahuluan untuk mengamankan harta dari tersangka. Perbedaan ini pada akhirnya akan menimbulkan hukum pembuktian yang membingungkan dan tidak jelas yang akan mempersulit hakim dalam membuat keputusan. Sistem pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia sendiri menggunakan sistem pembuktian negatif atau undang-undang secara terbatas. Sistem ini mengandalkan pembuktian yang harus sesuai dengan undang-undang dan juga keyakinan hakim.Â
Tidak jelasnya hukum pembuktian berarti akan menyebabkan hakim tidak mampu untuk membentuk petunjuk yang berasal dari keyakinan hakim. UU No. 31 Tahun 1999 dan juga perubahannya UU No. 20 Tahun 2001 sendiri menerapkan sistem pembuktian negatif ini karena terdapat Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi "Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini." sehingga adanya kejelasan hukum pembuktian sangat penting bagi penyelesaian perkara tipikor.Â
Selain itu RUU Perampasan Aset juga tidak mampu mengakomodir konsekuensi jika terdakwa dapat membuktikan keabsahan atau halal nya harta yang ia dapatkan. Berdasarkan ketentuan di Pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi "Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya." maka dapat diketahui bahwa jika terdakwa mampu membuktikan keabsahan dan halal nya harta yang ia dapatkan maka pembuktiannya digunakan oleh pengadilan untuk tidak menjatuhkan putusan perampasan aset.Â
Sementara dalam RUU Perampasan Aset diatur bahwa perampasan aset dilakukan tanpa adanya pemeriksaan alat bukti di persidangan terlebih dahulu. Dari fakta ini seharusnya RUU Perampasan Aset mengakomodir penyelesaian jika ternyata harta yang sudah dirampas terbukti keabsahan dan halal nya di persidangan.Â
RUU Perampasan Aset merupakan suatu produk legislasi yang sangat hebat di Indonesia yang mampu untuk memberikan solusi bagi penyelesaian perkara tipikor di Indonesia yang terkesan lambat. Namun sayangnya RUU ini masih memiliki banyak cacat dalam muatannya. Pembuat undang-undang seharusnya lebih berani dan konsisten lagi dalam membuat muatan RUU Perampasan Aset ini agar mencapai tujuan utamanya yaitu mempercepat proses penanganan perkara tipikor di Indonesia dan menjamin kepastian pengembalian aset korupsi kepada masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H