Mohon tunggu...
Benediktus Bayu Widya Puryanta
Benediktus Bayu Widya Puryanta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Benediktus Bayu Widya Puryanta adalah Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang memiliki hobi untuk membahas isu-isu terkait Politik dan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Intervensi Presiden dalam Kampanye Pilpres Ciderai Etika Politik?

25 Januari 2024   17:37 Diperbarui: 25 Januari 2024   17:53 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Nasional.Sindonews.com

Presiden Joko Widodo mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial saat tengah berkunjung ke Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Pada hari Rabu tanggal 24 Januari 2024. Di situ Jokowi mengatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden boleh mengikuti kampanye dan terlibat secara politis dalam pemilihan umum presiden pada tahun 2024. Tidak hanya Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi juga menyebut bahwa Menteri boleh turut serta melaksanakan kampanye selama tidak menggunakan fasilitas negara untuk mendukung proses kampanye tersebut. Pernyataan Jokowi ini telah menimbulkan kontroversi besar di Indonesia pasalnya pernyataan ini dikeluarkan oleh seorang Presiden yang masih menjabat dan memegang kekuasaan sekaligus wewenang tertinggi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia. Pernyataan Presiden ini dipandang telah menciderai etika politik berserta moral pemerintahan di Indonesia karena seorang Presiden dipandang tidak pantas untuk mengeluarkan pernyataan yang memungkinkan keterpihakan Presiden terhadap salah satu paslon dalam pilpres 2024. 

Tetapi apakah pernyataan Presiden Jokowi ini memiliki dasar hukum yang jelas? Berdasarkan Pasal 299 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye" yang berikutnya diatur juga di Pasal 304 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi "Dalam melaksanakan kampanye, Presiden dan Wakil Presiden, pejabat negara, pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara"  maka pernyataan Presiden Jokowi sudah memiliki dasar hukum yang jelas. Tetapi apakah dengan adanya dasar hukum yang jelas ini maka tindakan Presiden Jokowi mengikuti kampanye dan memihak salah satu paslon dapat dibenarkan?

Berkaca dari etika politik Indonesia tindakan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ini tetap tidak dapat dibenarkan. Dalam Pasal 283 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu. Selain itu jika melihat Pasal 22 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi "Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membantu Presiden untuk menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR" dan Pasal 48 ayat (1) huruf B yang berbunyi "Dalam menjalankan tugasnya, KPU melapor kepada DPR dan Presiden mengenai pelaksanaan tugas penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu dan tugas lainnya" maka Presiden memiliki wewenang besar dalam penyelenggaraan pemilu sehingga ketidaknetralan Presiden akan memungkinkan terjadinya Detournement de Pouvoir atau penyalahgunaan kekuasaan.

Mengutip dari pendapat pakar hukum tata negara Feri Amsari, beliau mengatakan bahwa Presiden telah merusak etika dan moral politik di Indonesia karena Presiden telah merusak sistem kepartaian yang ada di Indonesia. Menurut Feri Amsari problematika mengenai netralitas Presiden dalam pilpres 2024 bukan terletak pada masalah normatif tetapi terletak pada masalah etika dan moralitas politik. Feri Amsari menjelaskan bahwa Pasal 299 hingga Pasal 305 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dibentuk untuk melaksanakan sistem kepartaian di Indonesia sehingga seharusnya Presiden mendukung calon yang berasal dari partai politik nya sendiri. Sedangkan dalam pilpres tahun 2024 ini menurut Feri Amsari Presiden Joko Widodo diduga mendukung putranya Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi Wakil Presiden Indonesia pada tahun 2024.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan Presiden Joko Widodo ini tetap mencelai etika politik di Indonesia karena Presiden yang memiliki wewenang dan kekuasaan yang amat besar seharusnya tidak boleh menunjukan keberpihakan nya dalam Pilpres 2024. Pada Pasal 300 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden harus tetap memperhatikan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan negara sehingga sudah jelas tugas utama Presiden adalah menyelenggarakan fungsinya sebagai badan eksekutif bukan berkampanye. Selain itu adanya celah normatif dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak menafikan kewajiban pejabat negara terutama Presiden dan Wakil Presiden untuk berpolitik sesuai dengan etika politik yang mendasari pelaksanaan politik di Indonesia. Hukum akan benar berjalan dengan baik jika itu dilaksanakan sesuai dengan tujuan asli dan nilai-nilai dasar dari dibentuknya hukum tersebut sehingga tidak ada alasan bagi pejabat negara dan politikus untuk memanfaatkan celah-celah normatif demi kepentingan nya masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun