Bagi saya, Mendas itu unik dan penuh muatan filosofi. Rangkaian acaranya memberi pesan tersendiri tentang hidup kita manusia. Pertama, tentang waktu. Upacaranya berlangsung selama dua malam, dimulai pada malam hari, berakhir malam hari berikutnya.
Di sini perhitungan waktu amat penting. Malam yang dimulai dari matahari terbenam melambangkan keabadian. Orang yang meninggal dunia adalah orang yang tenggelam lalu menghilang di kegelapan, seperti mentari ditelan bumi.
Kedua, bunyi. Bunyi memberi arti sendiri bagi kepercayaan Suku Dayak Tamambaloh. Selama mendas berlangsung, gong dan gendang dibunyikan secara bergantian oleh para petugas.Â
Bunyi yang dihasilkan sangat khas. Bagi mereka, bunyi demikian adalah bunyi untuk memanggil para arwah. Setiap bunyian, disambut tarian adat dengan segala perlengkapannya.
Ketiga, simbol angka tujuh. Angka tujuh boleh dibilang angka keramat bagi Suku Dayak Tamambaloh. Angka 7 adalah lambang kematian dan diperuntukan bagi orang para arwah atau orang mati. Sedangkan angka 8 bagi orang hidup.
Orang yang sudah meninggal dunia diberi sajian yang dimasukan dalam manalayong. Sesajian yang diberikan itu adalah bekal mereka selama perjalanan ke dunia seberang.Â
Manalayong itu  berbentuk persegi empat. Di luarnya terdapat lukisan khas dayak dan ditutup  dengan kain merah lalu digantung pada tiang dan menjadi pusat perhatian semua yang mengikuti mendas.
Manalayong berubah sebutan ketika sudah dimasukkan sesajian. Namanya berubah menjadi talayong. Sesajian yang diisi ialah kepala babi dan beragam sesajian berupa pulut, sumanan kalame, daun sirih, biji-bijian, dan nasi. Yang menyiapkan sesajian itu ialah mereka yang berusia di atas 60 tahun dan setiap sesajian harus berjumlah tujuh (7).
Setelah sesajian terisi, orang tua yang mengisi sesajian menari mengelilingi talayong sebanyak tujuh kali. Saat putaran ke delapan mereka cepat-cepat keluar dari tempat mereka menari lalu semua orang bersorak. Mengapa mereka cepat-cepat meninggalkan talayong? "Para arwah sudah siap menyantap sesajian di talayong, dan saat mereka hendak makan, orang hidup harus menjauh," jawab seorang ibu.
Upacara mendas itu berakhir dengan mengantar talayong ke kuburan. Keluarga almarhum dan sahabatnya diminta menghantar sesajian ke kuburan dengan berjalan kaki.
Itulah ceritaku mengikuti mendas suku Dayak Tamambaloh. Ada rasa bangga dan kagum, akan kekhasan budaya nusantara. Tetapi juga prihatin mendengar cerita sesepuh di suku  itu, " banyak orang muda tidak memiliki perhatian pada budaya. Mereka lebih senang budaya luar dibandingkan mempertahankan budaya sukunya."