Bidang filsafat tidak banyak diminati orang-orang zaman ini. Kebanyakan orang melihat filsafat sebagai ilmu yang rumit. Rumit bisa berarti membingungkan, sukar dipahami, mengawang-ngawang dan aneh. Rumit bisa juga berarti tidak realistis, tidak mudah dicerna, terlalu abstark dan tidak membumi.
Saat orang-orang berlomba-lomba mengejar prestasi akademik, harta kekayaan, kenikmatan, kekuasaan, popularitas dan nyaman dengan pemikiran dan pandengannya terhadap keyakinannya, filsafat justru menyobek selubung-selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam pakian yang alim. Ia dituduh tidak sopan. Ia bagaikan anjing yang menggonggong, mengganggu, dan menggigit. Tidaklah mengherankan jika filsafat sering difitnah sebagai sekularistik, ateis, dan anarkis, (Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, 15).
Filsafat bahkan diidentikan dengan kebebasan nalar yang liar dan arogan, semacam ancaman dan gaya tafsir bebas yang mengarah pada kemurtadan, atau bahkan sejenis gerala kegilaan (Bambang Sughiarto, Filsafat dan Pengalaman, artikel).
Namun filsafat secara hakiki adalah ilmu kritis. Sebagai ilmu kritis, filsafat adalah gerak nalar yang wajar dan kecendrungan ingin tahu yang sudah kita miliki sejak lahir. Â Ia berusaha mempertanyakan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri. Kita sejatinya sudah mulai berfilsafat sejak kecil, saat kita mulai bertanya apapun tentang diri sendiri juga apapun yang tidak kita tahu.
Plato mengatakan, filsafat lahir dari kekaguman. Kekaguman itu kemudian menimbulkan pertanyaan. Ketika kita kagum akan keindahan alam, kebaikan dalam diri sesama, musik yang merdu, bahkan kagum dengan diri kita sendiri, kita telah mulai berfilsafat. Namun tidak sampai di situ. Senjata utama filsafat ialah rasio manusia.
Dengan rasio, filsafat berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Penjelasan yang dimaksud bukan sekedar memahami kulit luar dari realitas, tetapi memahaminya secara mendalam dan menyeluruh. Dalam memahami realitas yang mendalam dan menyeluruh itu, filsafat menggunakan metode permenungan, tanpa embel-embel wahyu maupun tradisi religius manapun.
Permenungan filsafat tentu tidak sama dengan berkhayal, juga bukan berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan. Permenungan kefilsafatan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dan memadai untuk memahami dunia dan manusia itu sendiri (Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih bahasa: Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, 17).
Permenungan itu ialah sejenis percakapan yang dilakukan dengan diri sendiri atau orang lain, yang bertujuan mencari jawaban atas pertanyaan filosofis. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis itu tidak pernah abadi. Sebab masalah-masalah filsafat tidak pernah dapat selesai, justru karena bersifat filsafat. Masalah-masalah filsafat adalah masalah-masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap sebagai manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah. Maka masalah-masalah baru dalam filsafat adalah masalah-masalah lama manusia. (Magnis-Suseno, Op.cit.,19).
Karena masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia dan dunianya, maka filsafat dapat dikatakan sebagai hasil menjadi-sadarnya manusia sebagai pemikir, dan menjadi--kritisnya manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Di sinilah pentingnya belajar filsafat.
Filsafat membuat kemampuan reflektif kita senantiasa berdenyut. Segala hal digugat dan digugat ulang oleh refleksi kita sendiri. Filsafat menghantar kita untuk merefleksikan diri sedalam-dalamnya untuk lebih sadar sebagai manusia yang mampu berpikir. Kesadaran itu membantu manusia mengenal diri dengan mengetahui kelemahan dan kelebihannya.
Filsafat juga menjadikan kita berpikir kritis terhadap diri kita dan terhadap apapun di luar diri kita. Ilmu ini membantu manusia untuk tidak menelan mentah-mentah apa apa saja yang diterimanya dari orang lain, tetapi memampukan kita menyusun sendiri pegangan di antara berbagai informasi dan pendapat membingungkan, memampukan kita merumuskan sendiri makna pengalaman.