Mohon tunggu...
Benediktus Jonas
Benediktus Jonas Mohon Tunggu... Freelancer - freelanecer

Menulis ialah caraku mengasah kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku Telah Memaafkanmu Ayah, Selamat Jalan

3 November 2018   23:04 Diperbarui: 3 November 2018   23:09 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Aku bangun lebih awal dari pagi itu. Tak seperti biasanya, langit kotaku sangat cerah. Tak kulihat tumpukan awan di sana. Di taman belakang rumah, kudengar kicauan burung menyemaraki suasana pagi itu. Kicauan mereka menghasilkan melodi yang menyenangkan hati. "Sungguh mengagumkan" gumamku dalam hati. Sambil tersenyum dan tertawa, aku melihat burung mungil yang berwarna warni kejar-kejaran melepas dinginnya udara pagi itu. Tak ada kesedihan di sana. Semuanya gembira menyambut hari baru.

Dari kamar tidur aku merasakan aroma masakan ibu yang lezat. Cepat-cepat aku membereskan tempat tidurku. Tak sabar lagi menikmati masakan ibu yang pasti menggugah selera. Sejenak, aku melangkah ke dapur. Suatu peristiwa yang tak pernah kulihat sebelumnya terjadi. Kulihat ibu duduk di sebuah kursi plastik. Air matanya jatuh berderai. Sesekali Ia menutup mulutnya dengan tangan agar aku dan adik tidak mendengar suara tangisannya. Aku shok melihat ibu menangis. Sebelum aku hendak menyapanya, ia sudah melihatku mendekatinya. Dengan terburu-buru ia mengusap wajahnya dengan sapu tangan kemudian pergi ke taman belakang rumah.

Aku kaget bercampur sedih melihat ibu menangis. Dalam hidup, baru pertam kali aku lihat ibu menangis. "Bu, ...Ibu kenapa menangis. Ada apa bu?", tanyaku penasaran. "Tidak apa-apa Na, ibu hanya ingat sama papa kamu aja". "Emangnya papa kenapa Bu,". "Nggak apa-apa, dia baik-baik ja kok, kamu nggak perlu kepikiran.", katanya. Ibu berusaha mengalihkan pembicaraan itu dan berusaha menghindari dari pertanyaan-pertanyaanku. Tetapi aku merasa tak puas dan bertanya lagi, "Tumben ya, ibu kok menangis hanya karena ayah cepat kembali ke tempat kerjanya. Pada hal ayah kan sering pulang ke rumah" Ayolah bu, cerikan ja ma aku, aku pengen tahu kenapa ibu menagis." Kemudia ibu, menceritakan semuanya padaku.

****

Semua terjadi saat ayah mengunjungi kami Minggu itu. Tidak seperti biasanya, ayah datang hanya beberapa jam lalu kembali ke tempat kerjanya. Ia datang mengakui kesalahan dan persoalan yang sedang dihadapinya kala itu. Ayah membongkar masa lalunya sama ibu karena ia sangat menderita oleh perasaan bersalah karena membohongi ibu dan kami selama bertahun-tahun. Ayah ternyata punya istri simpanan di tempat ia bekerja. Ia mempunyai seorang anak lelaki dan perempuan yang seusia adikku dari istri simpanannya itu. Saat itu, ayah terjerat utang. Ia tidak punya uang untuk membayar biaya pengobatan anak dari istri simpannya yang telah berbulan-bulan terbaring di rumah sakit.

Betapa hancur hati ibu mendengar pengakuan ayah. Ibu menangis karena ayah telah dibohongi oleh seorang yang disayangi dan dikaguminya. Sambil menitikan air mata, ia melanjutkan. Ayah meminta ibu menceraikan ayah. Tapi saat itu ibu tidak memberikan jawaban apa-apa. Ibu memikirkan aku dan adik dan terutama janjinya perkawinan. Ia telah berjanji akan tetap setia dalam suka dan duka, untung dan malang.

Saat ibu menceritakan hal itu, aku tak mampu berkata-kata. Aku tak percaya sebab di mataku ayah orang baik. Tidak mungkin ia mengkhianati ibu dan kami. Namun kenyataan berkata demikian. Ayah telah membohongi kami bertahun-tahun. Seperti yang dialami ibu, perasaanku hancur. Semangatku terasa luntur. Aku merasa disakiti oleh seorang yang kucintai yakni ayah.

Aku melewati hari-hariku dengan penuh kesedihan. Pikiranku buntu. Terasa tak punya masa depan lagi. Beberapa kali aku berencana menabrakkan sepeda motorku dengan bus di jalan yang laju kencang. Namun saat keinginan itu muncul, aku selalu ingat wajah ibuku dan adikku. Mengingat burung-burung yang melewati hari-hari mereka dengan penuh keceriaan. Mengingat mereka membuat aku mengurungkan niatku untuk bunuh diri.

Suatu pagi, ayah menelponku. Sebelum ia memulai pembicaraan itu, aku marah padanya. Aku marah sambil menangis sampai aku merasa puas. Entalah dia mendengarkanku atau tidak, tetapi aku merasa lega setelah mengungkapkan isi perasaanku. Dia tidak menjawabku. Di ujung pembicaraan itu ia meminta maaf padaku dan adik. "Na, ayah minta maaf padamu karena tidak bisa menjadi yang baik. ayah sangat meyesal telah menutup rahasia hidup ayah kepada kalian. Semoga kalian mau memaafkan ayah." Hatiku luluh saat mendengar suara ayah dengan nada penuh penyesalan. Ia menangis sambil minta maaf atas perbuatannya. Walau, ayah tidak pulang lagi ke rumah setelah pengakuan itu, ibu selalu menasihatiku agar memaafkan kesalahan ayah. ia katakan ingatlah segala kebaikan ayahmu. Janganlah satu kesalahannya menghapus semua kebaikannya padamu. Ibu amat bijak menghadapi persoalan itu.

Suatu hal lain yang selalu ibu katakan padaku, "Jangan mengizinkan orang lain merenggut kebahagiaanmu. Semua orang punya persoalan hidup, tapi ingat jangan jadikan masalah sebagai alasan engkau menyerah menjalani hidup. Sebab tiada persoalan yang abadi, semua pasti ada jalan, percayalah selalu pada kasih Tuhan Yesus." Perkataan itu meneguhkanku. Akhirnya aku mengerti mengapa ibu tetap tegar menghadapi persoalan hidupnya walau ia menanggung beban hidup yang berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun